ALLAH, SANG MAHA HADIR (1)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimuliakan dan dicintai Allah SWT. Pertama-tama saya~dari lubuk hati yang paling dalam~memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena baru sekarang ini dapat mengunjungi kembali para sahabat melalui tulisan ini. Hal ini disebabkan rencana saya menerbitkan ringkasan Kimia Kebahagiaan-nya Al-Ghozali yang saya prediksikan “memakan” waktu 14 hari untuk mengisi kekosongan pada saat “kesibukan” Hari Raya Idul Fitri 1430 H, ternyata tidak sesuai dengan rencana semula, sehingga ringkasan artikel tersebut baru selesai hampir 30 hari.
Mulai hari ini Insya Allah, SC-HSS kembali hadir dan mengetengahkan tulisan hasil diskusi dan perjalanan spiritual para sahabat kami. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, sekaligus mengobati kerinduan kita selama ini melalui jalinan silaturrahmi tulisan ini.
Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kalau kita sedikit mau meluangkan waktu barang sejenak untuk mambaca (iqra) dan mengamati pemberitaan-pemberitaaan akhir-akhir ini baik melalui media elektronik maupun cetak, muncul fenomena kegelisahan manusia dalam menjalani kehidupan ini. Tingkat penyakit yang bernama kegelisahan ini tidak hanya berskala lokal, nasional, dan regional, bahkan international. Mulai fenomena bumi yang semakin panas akibat global warning, krisis ekonomi global yang belum berakhir, penyebaran epidemi penyakit baru seperti flu babi dan flu burung, dll. Sedangkan kegelisahan tingkat regional melanda kawasan ASEAN dimana bangsa Indonesia merasa sering dianiaya dan didzalimi oleh Malaysia, baik TKI yang tidak diperlakukan secara manusiawi maupun peng-klaim-an budaya Indonesia. Padahal kita adalah bangsa yang serumpun.
Ditingkat nasional kegelisahan menyelimuti bangsa ini mulai dari kurangnya penegakan hukum (tebang pilih), perilaku elit yang lebih memperhatikan diri sendiri dibanding mengurus dan mensejahterakan rakyat, ketakutan masyarakat atas terjadinya beberapa peristiwa bencana alam, kebakaran, banjir, dsb. Sementara di tingkat lokal (daerah) sendiri banyak kejadian-kejadian yang sudah tidak dapat lagi atau sulit diterima akal sehat, seperti membunuh gara-gara uang yang jumlahnya tidak seberapa, bunuh diri satu keluarga karena beban ekonomi, anak membunuh orang tua, dll.
Fenomena apakah ini? Mengapa manusia tergagap-gagap dalam menjalani hidup ini? Dimanakah akal sehat diletakkan selama ini?
Salah satu sebab yang mendasar adalah terjadinya kegersangan ruhani. Ya...selama ini masyarakat Indonesia banyak dijejali oleh urusan-urusan duniawi. Standarisasi hidup hanya diukur oleh banyaknya kekayaan, tingginya jabatan, Ilmu Pengetahuan yang “sempurna” dengan cara sekolah setinggi-tingginya, dll. Sehingga kita semua lupa bahwa “pembangunan” kepribadian manusia menjadi tidak utuh, timpang dan pincang karena hanya melibatkan unsur lahiriah saja. Semestinya pembentukan kepribadian manusia harus seimbang, tidak hanya melibatkan sisi lahiriyah saja, namun juga sisi batiniyah.
Pembentukan unsur batiniyah justru sangat pokok, karena dari sinilah lahir perilaku atau ahlak yang mulia, namun kenyataannya justru unsur ini ditinggalkan. Setinggi-tingginya ilmu manusia, bila tidak dibarengi dengan pembangunan unsur batiniyah, maka ilmu pengetahuan yang semestinya untuk membangun kesejahteraan dan kemakmuran bersama malah digunakan untuk memuaskan hawa nafsunya. Maka yang muncul ilmu kelicikan dan kecurangan.
Begitu pula jabatan yang disandang, mestinya dimanfaatkan sebagai sarana untuk memanajemeni dan membangun kesejateraan bersama baik tingkat lokal maupun nasional, tapi amanah ini justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri. Maka lihatlah hasilnya, negara kita termasuk memiliki “prestasi” dengan menduduki peringkat tinggi dalam memproduksi para oknum koruptor, pungli dan nepotisme.
Demikian pula dengan nikmat materi atau kekayaan yang semestinya sebagian ada hak bagi orang fakir miskin. Namun dengan alasan bahwa kekayaan ini diperoleh semata-mata karena hasil kerja keras sendiri selama ini maka sang pemilik kekayaan bebas menggunakannya untuk kepentingan pribadi, tanpa mau berempati atau manusia jenis ini mengalami dekadensi rasa sosial.
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian,...(QS. Adz-Dzariyat 51 : 19).
Dan yang lebih parah lagi akibat salah membentuk kepribadiaan hanya dari sisi lahir saja, maka banyak manusia Indonesia saat ini yang buta akan Tuhan. Padahal mereka mengaku beragama dan negara ini memiliki Pancasila yang mengakui adanya Tuhan, namun sayang semua ini hanya tinggal sebatas slogan, agama hanya dijadikan formalitas di KTP, bahkan kalau diperbolehkan Tuhan tidak boleh ikut "campur tangan" urusan manusia, Tuhan disuruh "ngumpet" saja. Na’udzubillahi min dzalik!
Saat ini sepertinya manusia Indonesia mulai menuai buah kesombongan yang ditanam selama ini, yang disebabkan dosa kolektif. Maka tidak heran bila Allah SWT memperingatkan kepada bangsa Indonesia melalui bencana gempa yang datangnya susul menyusul. Dengan kuasa-Nya hanya menggeser sedikit lempengan bumi, sebagian besar masyarakat Indonesia dilanda ketakutan, kebingungan dan kegelisahan yang luar biasa. Mereka mengalami kerugian tidak hanya materi yang jumlahnya tidak sedikit, tetapi juga non materi yaitu psikologis traumatis. Bahkan masyarakat yang kebetulan daerahnya belum terjadi gempa berpikiran,”Jangan-jangan giliran gempa sebentar lagi terjadi di daerah saya?”. Atau masyarakat yang daerahnya pernah di landa gempa juga berpikiran,"Jangan-jangan ada gempa susulan?". Jadi hampir sebagian besar masyarakat kita ini selalu dilingkari, diliputi dan diselubungi rasa ketakutan, kebingungan dan kegelisahan.
Dari peristiwa ini hikmah apa yang dapat kita petik dan perilaku apa yang seharusnya kita ubah? Mengapa manusia jauh lebih percaya dengan kekuatan ilmu pengetahuan dibandingkan pertolongan Allah? Padahal jelas-jelas manusia tidak mampu memprediksikan peristiwa alam yang bakal terjadi meskipun dibantu peralatan dan teknologi secanggih apapun. Manusia hanya mampu menyampaikan informasi dan peringatan pada saat gempa sedang berlangsung. Padahal diperlukan waktu lebih dari 5 menit untuk menyampaikannya peristiwa ini. Sementara gempa hanya cukup 3 menit sudah memporakporandakan rumah, bangunan dan fasilitas umum. Mengapa manusia yang mengaku beragama dan ber-Tuhan lebih mengandalkan kesombongannya? Mengapa kita semua tidak secara kolektif datang ke Tuhan dengan kesadaran penuh mohon ampun atas perilaku kita selama ini yang jauh dari tuntunan agama? Apakah ini disebabkan persepsi yang salah dari manusia dan menganggap bahwa Tuhan itu tidak riil/nyata? Padahal jelas-jelas Allah SWT itu ada dan nyata. Dia-lah pemilik asma Ad-Dhahir sekaligus Al-Bathin.
“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha 20 : 14)
Bersambung...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimuliakan dan dicintai Allah SWT. Pertama-tama saya~dari lubuk hati yang paling dalam~memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena baru sekarang ini dapat mengunjungi kembali para sahabat melalui tulisan ini. Hal ini disebabkan rencana saya menerbitkan ringkasan Kimia Kebahagiaan-nya Al-Ghozali yang saya prediksikan “memakan” waktu 14 hari untuk mengisi kekosongan pada saat “kesibukan” Hari Raya Idul Fitri 1430 H, ternyata tidak sesuai dengan rencana semula, sehingga ringkasan artikel tersebut baru selesai hampir 30 hari.
Mulai hari ini Insya Allah, SC-HSS kembali hadir dan mengetengahkan tulisan hasil diskusi dan perjalanan spiritual para sahabat kami. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, sekaligus mengobati kerinduan kita selama ini melalui jalinan silaturrahmi tulisan ini.
Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kalau kita sedikit mau meluangkan waktu barang sejenak untuk mambaca (iqra) dan mengamati pemberitaan-pemberitaaan akhir-akhir ini baik melalui media elektronik maupun cetak, muncul fenomena kegelisahan manusia dalam menjalani kehidupan ini. Tingkat penyakit yang bernama kegelisahan ini tidak hanya berskala lokal, nasional, dan regional, bahkan international. Mulai fenomena bumi yang semakin panas akibat global warning, krisis ekonomi global yang belum berakhir, penyebaran epidemi penyakit baru seperti flu babi dan flu burung, dll. Sedangkan kegelisahan tingkat regional melanda kawasan ASEAN dimana bangsa Indonesia merasa sering dianiaya dan didzalimi oleh Malaysia, baik TKI yang tidak diperlakukan secara manusiawi maupun peng-klaim-an budaya Indonesia. Padahal kita adalah bangsa yang serumpun.
Ditingkat nasional kegelisahan menyelimuti bangsa ini mulai dari kurangnya penegakan hukum (tebang pilih), perilaku elit yang lebih memperhatikan diri sendiri dibanding mengurus dan mensejahterakan rakyat, ketakutan masyarakat atas terjadinya beberapa peristiwa bencana alam, kebakaran, banjir, dsb. Sementara di tingkat lokal (daerah) sendiri banyak kejadian-kejadian yang sudah tidak dapat lagi atau sulit diterima akal sehat, seperti membunuh gara-gara uang yang jumlahnya tidak seberapa, bunuh diri satu keluarga karena beban ekonomi, anak membunuh orang tua, dll.
Fenomena apakah ini? Mengapa manusia tergagap-gagap dalam menjalani hidup ini? Dimanakah akal sehat diletakkan selama ini?
Salah satu sebab yang mendasar adalah terjadinya kegersangan ruhani. Ya...selama ini masyarakat Indonesia banyak dijejali oleh urusan-urusan duniawi. Standarisasi hidup hanya diukur oleh banyaknya kekayaan, tingginya jabatan, Ilmu Pengetahuan yang “sempurna” dengan cara sekolah setinggi-tingginya, dll. Sehingga kita semua lupa bahwa “pembangunan” kepribadian manusia menjadi tidak utuh, timpang dan pincang karena hanya melibatkan unsur lahiriah saja. Semestinya pembentukan kepribadian manusia harus seimbang, tidak hanya melibatkan sisi lahiriyah saja, namun juga sisi batiniyah.
Pembentukan unsur batiniyah justru sangat pokok, karena dari sinilah lahir perilaku atau ahlak yang mulia, namun kenyataannya justru unsur ini ditinggalkan. Setinggi-tingginya ilmu manusia, bila tidak dibarengi dengan pembangunan unsur batiniyah, maka ilmu pengetahuan yang semestinya untuk membangun kesejahteraan dan kemakmuran bersama malah digunakan untuk memuaskan hawa nafsunya. Maka yang muncul ilmu kelicikan dan kecurangan.
Begitu pula jabatan yang disandang, mestinya dimanfaatkan sebagai sarana untuk memanajemeni dan membangun kesejateraan bersama baik tingkat lokal maupun nasional, tapi amanah ini justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri. Maka lihatlah hasilnya, negara kita termasuk memiliki “prestasi” dengan menduduki peringkat tinggi dalam memproduksi para oknum koruptor, pungli dan nepotisme.
Demikian pula dengan nikmat materi atau kekayaan yang semestinya sebagian ada hak bagi orang fakir miskin. Namun dengan alasan bahwa kekayaan ini diperoleh semata-mata karena hasil kerja keras sendiri selama ini maka sang pemilik kekayaan bebas menggunakannya untuk kepentingan pribadi, tanpa mau berempati atau manusia jenis ini mengalami dekadensi rasa sosial.
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian,...(QS. Adz-Dzariyat 51 : 19).
Dan yang lebih parah lagi akibat salah membentuk kepribadiaan hanya dari sisi lahir saja, maka banyak manusia Indonesia saat ini yang buta akan Tuhan. Padahal mereka mengaku beragama dan negara ini memiliki Pancasila yang mengakui adanya Tuhan, namun sayang semua ini hanya tinggal sebatas slogan, agama hanya dijadikan formalitas di KTP, bahkan kalau diperbolehkan Tuhan tidak boleh ikut "campur tangan" urusan manusia, Tuhan disuruh "ngumpet" saja. Na’udzubillahi min dzalik!
Saat ini sepertinya manusia Indonesia mulai menuai buah kesombongan yang ditanam selama ini, yang disebabkan dosa kolektif. Maka tidak heran bila Allah SWT memperingatkan kepada bangsa Indonesia melalui bencana gempa yang datangnya susul menyusul. Dengan kuasa-Nya hanya menggeser sedikit lempengan bumi, sebagian besar masyarakat Indonesia dilanda ketakutan, kebingungan dan kegelisahan yang luar biasa. Mereka mengalami kerugian tidak hanya materi yang jumlahnya tidak sedikit, tetapi juga non materi yaitu psikologis traumatis. Bahkan masyarakat yang kebetulan daerahnya belum terjadi gempa berpikiran,”Jangan-jangan giliran gempa sebentar lagi terjadi di daerah saya?”. Atau masyarakat yang daerahnya pernah di landa gempa juga berpikiran,"Jangan-jangan ada gempa susulan?". Jadi hampir sebagian besar masyarakat kita ini selalu dilingkari, diliputi dan diselubungi rasa ketakutan, kebingungan dan kegelisahan.
Dari peristiwa ini hikmah apa yang dapat kita petik dan perilaku apa yang seharusnya kita ubah? Mengapa manusia jauh lebih percaya dengan kekuatan ilmu pengetahuan dibandingkan pertolongan Allah? Padahal jelas-jelas manusia tidak mampu memprediksikan peristiwa alam yang bakal terjadi meskipun dibantu peralatan dan teknologi secanggih apapun. Manusia hanya mampu menyampaikan informasi dan peringatan pada saat gempa sedang berlangsung. Padahal diperlukan waktu lebih dari 5 menit untuk menyampaikannya peristiwa ini. Sementara gempa hanya cukup 3 menit sudah memporakporandakan rumah, bangunan dan fasilitas umum. Mengapa manusia yang mengaku beragama dan ber-Tuhan lebih mengandalkan kesombongannya? Mengapa kita semua tidak secara kolektif datang ke Tuhan dengan kesadaran penuh mohon ampun atas perilaku kita selama ini yang jauh dari tuntunan agama? Apakah ini disebabkan persepsi yang salah dari manusia dan menganggap bahwa Tuhan itu tidak riil/nyata? Padahal jelas-jelas Allah SWT itu ada dan nyata. Dia-lah pemilik asma Ad-Dhahir sekaligus Al-Bathin.
“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha 20 : 14)
Bersambung...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar