ALLAH, SANG MAHA HADIR (5)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mengatasi Masalah Tanpa Masalah
Lalu bagaimanakah langkah yang harus umat islam tempuh bila “merasa” punya masalah?
Seringkali manusia memandang dengan cara yang salah untuk mencari solusi tentang masalah. Bahkan kalau boleh dibilang, manusia yang merasa mempunyai masalah seperti “ orang yang tidak waras”. Lho kok bisa? Ya bisa. Coba anda melakukan recall ulang memori saat diri anda memiliki masalah dimasa lalu atau sekarang. Maka hal yang biasa anda lakukan dalam memandang, menengok dan memikirkan masalah tersebut adalah bertanya kepada diri sendiri. Apa ini bukan indikasi anda “kurang waras?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain berkisar atau seperti berikut ini:
“Kok bisa ya jadinya begini? Padahal saya sudah berusaha sungguh-sungguh dan rencananya sudah perfect. Kok tiba-tiba di tengah jalan berubah jadi begini? Kenapa ya? Apa salah saya? Lalu bagaimana ya menyelesaikannya? Waduh pusing saya! Kok mereka nggak mau mengerti ya?”...Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus-menerus berulang dan muncul tanpa bisa anda kendalikan. Sehingga dampaknya anda gelisah, stres, depresi dan akhirnya insomnia, nggak bisa tidur, seperti orang ling-lung, dll.
Sebagai Tuhannya umat islam, sebenarnya Allah SWT sudah memberikan solusi kepada umatnya dalam memohon pertolongan kepada-Nya dan Rosulullah SAW sendiri-pun telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana cara Beliau ketika mendapat suatu masalah. Lalu bagaimana Allah SWT mensyaratkan? Dan bagaimana Rosululloh SAW mencontohkan?
Pertama, Iyyaa kana’budu wa iyyaa kanasta’iin. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah 1:5).
Inilah syarat dan cara umat islam untuk menyelesaikan semua permasalahan hidupnya. Di dalam surat Al-Fatihah tersebut yang seringkali kita baca minimal 17 kali dalam satu hari di dalam shalat fardhu, Allah SWT sebenarnya telah mengajari umat islam. Allah SWT berkomunikasi dengan kita bagaimana kalau manusia ingin meminta pertolongan kepada-Nya. Namun sayang seringkali umat islam hanya sebatas membaca sambil lalu ayat tersebut di dalam shalat tanpa mau menggali dan memahami lebih jauh maknanya. Jadi bacaan itu hanya terucap di bibir saja dan sebatas ritual saja.
Dari ayat tersebut sangat jelas, bahwa sebelum umat islam meminta pertolongan didahului bahwa manusia harus menyembah kepada-Nya secara lurus (tidak syirik), men-tauhid-kan Allah SWT dengan sebenar-benarnya, dan “berjumpa” dengan-Nya. Ibarat anda meminta pertolongan kepada tetangga atau orang lain. Tentunya syarat utama yang anda harus lakukan adalah bertemu dengannya. Bagaimana bisa anda minta pertolongan kalau tetangga atau orang yang akan anda minta pertolongannya tidak ada temui/bertemu. Mungkinkah? Ya tidak mungkin.
Kedua, shalat khusyu’ adalah salah satu media untuk “berjumpa” dengan Allah SWT dan meminta pertolongan-Nya. Rasululloh SAW bila mendapat masalah maka Beliau akan mendirikan shalat sunnah 2 (dua) rakaat untuk meminta pertolongan kepada Allah SWT. Dalam shalat tersebut, Rasululloh SAW “berjumpa” dengan Allah SWT, baru kemudian Beliau memohon pertolongan-Nya. Dan dapat dipastikan pertolongan dan solusi akan Beliau dapatkan, karena tata cara atau adab dalam meminta pertolongan kepada Allah SWT sudah tepat. Lalu bagaimana dengan umat Beliau atau umat islam?
Ya..sama saja, cuma permasalahannya dapatkah umat islam dengan sebenar-benarnya mau belajar dan mampu mengikuti apa yang dicontohkan Rosululloh SAW (sunnah rosul)? Inilah permasalahan pokoknya, karena seringkali manusia sering meng-klaim dan sudah merasa mengikuti apa yang dicontohkan Rasululloh SAW. Manusia merasa bahwa shalatnya sudah benar dan khusyu’, karena sudah sesuai dengan syariat. Padahal shalat tidak hanya melibatkan dimensi syariat saja (fisik) tetapi utamanya justru dimensi hakikat batiniyah). Ash Sholatu Mi'rajul Mukminin.
Paradigma salah kaprah ini ditambah keyakinan sebagian umat islam bahwa manusia tidak mampu “bertemu” dengan Allah SWT di dunia, manusia hanya akan bertemu dengan Allah SWT nanti di akhirat. Peng-klaim-an inilah menjadikan hijab bagi dirinya, karena paradigma yang salah. Kalau manusia tidak “bertemu” Alllah SWT dalam atau saat shalat, lalu saat mendirikan shalat manusia menyembah siapa?
Memang manusia tidak mampu untuk meng-khusyu’-kan diri sendiri dalam shalat. Khusyu’ adalah pemberian dari Allah SWT. Maka manusia seharusnya mengakui kebodohannya, sehingga manusia selalu dan terus menerus mohon kepada Allah SWT untuk menuntun shalatnya (baca artikel-artikel saya mengenai shalat khusyu’). Yang perlu menjadi modal awal seseorang menghadap kepada Allah SWT adalah mengakui kebodohannya sehingga meminta dituntun shalatnya oleh Allah SWT, dan disisi lain manusia harus memiliki keyakinan bahwa dalam shalat dia akan “berjumpa” dengan Allah SWT. Insya Allah, Allah SWT akan memperjalankan hamba-Nya tersebut setahap demi setahap untuk mengenal-Nya dan puncaknya adalah “berjumpa” dengan Dzatullah.
Ketiga, menyerahkan penyelesaian segala masalah yang dihadapinya kepada Allah SWT. Dalam kehidupan di dunia ini, manusia berposisi sebagai obyek dan Allah SWT adalah subyek, pusat dari segala makhluk-Nya yang berada di alam semesta. Manusia ibarat gerbong kereta api (obyek) dan Allah SWT berposisi sebagai “masinisnya”. Allah SWT-lah yang menggerakkan, karena Dia adalah Sang Maha Penggerak. Terserah Sang Masinis, apakah gerbong kereta api mau dijalankan, diberhentikan, di rem bahkan dimasukkan gudang karena sudah habis masa kelayakannya untuk beroperasional.
Bukan sebaliknya, masak gerbong kereta api (obyek) protes ketika masinis (subyek) ingin gerbong kereta api berjalan, gerbong kereta api idak mau jalan, atau sebaliknya. Ya...ini namanya tidak mungkin, lha wong gerbong kereta api itu tidak bisa apa-apa karena dibawah kendali Sang Masinis.
Sebenarnya tidak hanya manusia, alam semesta yang terdiri dari benda-benda langit seperti bintang, matahari, galaksi, juga benda-benda di bumi seperti gunung, tumbuhan, hewan dan bahkan segala jenis makhluk yang berada dalam alam semesta ini semua tunduk dan patuh kepada kehendak-Nya. Cuma karena manusia di-karunia-i potensi an-nafs dan pikiran maka manusia sering protes, semua serba dipikir dengan logika serta tidak mau menerima karena bertentangan dengan keinginan-keinginannya.
Manusia sering memposisikan diri, tidak mau menerima apa yang diberikan Tuhannya, tidak mau ikut kehendak-Nya dan merasa/berhak memilih jalan kehidupannya. Kalau empat kondisi ini yang anda pegang maka bersiap-siaplah anda menderita menjalani hidup ini.
Masalah itu berasal dari Allah, SWT maka kembalikan masalah tersebut kepada Allah SWT. Dia-lah yang akan menyelesaikannya. Jangan dipikir, karena manusia tidak mampu menyelesaikannya. Laa haula wa laa quwwata Illa bilah. Oleh karena itu Allah SWT menyuruh hamba-Nya untuk bertawakal. Perkara berapa lama waktu yang dibutuhkan...ya jangan ditargetkan. Manusia kok menyuruh-nyuruh Tuhan. Di mana logika, etika dan sopan santunnya? Dan apa hak manusia menyuruh-nyuruh Allah SWT? Manusia sebatas memohon dan minta pertolongan, adalah hak preorogatif Allah SWT segala keputusan-Nya. Oleh karena itu, setelah kita memohon pertolongan, ya...nggak usah dipikir lagi. Serahkan totalitas ke Allah SWT. Jadi pada akhirnya manusia “ mengatasi masalah, tanpa masalah”. Hidupnya jadi tentram, tenang dan nyaman. Jadi masalah itu sebenarnya tidak ada.
“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara (masalah) antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Sebab itu bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata”. (QS. An-Naml 27 : 78-79).
Bersambung...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mengatasi Masalah Tanpa Masalah
Lalu bagaimanakah langkah yang harus umat islam tempuh bila “merasa” punya masalah?
Seringkali manusia memandang dengan cara yang salah untuk mencari solusi tentang masalah. Bahkan kalau boleh dibilang, manusia yang merasa mempunyai masalah seperti “ orang yang tidak waras”. Lho kok bisa? Ya bisa. Coba anda melakukan recall ulang memori saat diri anda memiliki masalah dimasa lalu atau sekarang. Maka hal yang biasa anda lakukan dalam memandang, menengok dan memikirkan masalah tersebut adalah bertanya kepada diri sendiri. Apa ini bukan indikasi anda “kurang waras?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain berkisar atau seperti berikut ini:
“Kok bisa ya jadinya begini? Padahal saya sudah berusaha sungguh-sungguh dan rencananya sudah perfect. Kok tiba-tiba di tengah jalan berubah jadi begini? Kenapa ya? Apa salah saya? Lalu bagaimana ya menyelesaikannya? Waduh pusing saya! Kok mereka nggak mau mengerti ya?”...Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus-menerus berulang dan muncul tanpa bisa anda kendalikan. Sehingga dampaknya anda gelisah, stres, depresi dan akhirnya insomnia, nggak bisa tidur, seperti orang ling-lung, dll.
Sebagai Tuhannya umat islam, sebenarnya Allah SWT sudah memberikan solusi kepada umatnya dalam memohon pertolongan kepada-Nya dan Rosulullah SAW sendiri-pun telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana cara Beliau ketika mendapat suatu masalah. Lalu bagaimana Allah SWT mensyaratkan? Dan bagaimana Rosululloh SAW mencontohkan?
Pertama, Iyyaa kana’budu wa iyyaa kanasta’iin. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah 1:5).
Inilah syarat dan cara umat islam untuk menyelesaikan semua permasalahan hidupnya. Di dalam surat Al-Fatihah tersebut yang seringkali kita baca minimal 17 kali dalam satu hari di dalam shalat fardhu, Allah SWT sebenarnya telah mengajari umat islam. Allah SWT berkomunikasi dengan kita bagaimana kalau manusia ingin meminta pertolongan kepada-Nya. Namun sayang seringkali umat islam hanya sebatas membaca sambil lalu ayat tersebut di dalam shalat tanpa mau menggali dan memahami lebih jauh maknanya. Jadi bacaan itu hanya terucap di bibir saja dan sebatas ritual saja.
Dari ayat tersebut sangat jelas, bahwa sebelum umat islam meminta pertolongan didahului bahwa manusia harus menyembah kepada-Nya secara lurus (tidak syirik), men-tauhid-kan Allah SWT dengan sebenar-benarnya, dan “berjumpa” dengan-Nya. Ibarat anda meminta pertolongan kepada tetangga atau orang lain. Tentunya syarat utama yang anda harus lakukan adalah bertemu dengannya. Bagaimana bisa anda minta pertolongan kalau tetangga atau orang yang akan anda minta pertolongannya tidak ada temui/bertemu. Mungkinkah? Ya tidak mungkin.
Kedua, shalat khusyu’ adalah salah satu media untuk “berjumpa” dengan Allah SWT dan meminta pertolongan-Nya. Rasululloh SAW bila mendapat masalah maka Beliau akan mendirikan shalat sunnah 2 (dua) rakaat untuk meminta pertolongan kepada Allah SWT. Dalam shalat tersebut, Rasululloh SAW “berjumpa” dengan Allah SWT, baru kemudian Beliau memohon pertolongan-Nya. Dan dapat dipastikan pertolongan dan solusi akan Beliau dapatkan, karena tata cara atau adab dalam meminta pertolongan kepada Allah SWT sudah tepat. Lalu bagaimana dengan umat Beliau atau umat islam?
Ya..sama saja, cuma permasalahannya dapatkah umat islam dengan sebenar-benarnya mau belajar dan mampu mengikuti apa yang dicontohkan Rosululloh SAW (sunnah rosul)? Inilah permasalahan pokoknya, karena seringkali manusia sering meng-klaim dan sudah merasa mengikuti apa yang dicontohkan Rasululloh SAW. Manusia merasa bahwa shalatnya sudah benar dan khusyu’, karena sudah sesuai dengan syariat. Padahal shalat tidak hanya melibatkan dimensi syariat saja (fisik) tetapi utamanya justru dimensi hakikat batiniyah). Ash Sholatu Mi'rajul Mukminin.
Paradigma salah kaprah ini ditambah keyakinan sebagian umat islam bahwa manusia tidak mampu “bertemu” dengan Allah SWT di dunia, manusia hanya akan bertemu dengan Allah SWT nanti di akhirat. Peng-klaim-an inilah menjadikan hijab bagi dirinya, karena paradigma yang salah. Kalau manusia tidak “bertemu” Alllah SWT dalam atau saat shalat, lalu saat mendirikan shalat manusia menyembah siapa?
Memang manusia tidak mampu untuk meng-khusyu’-kan diri sendiri dalam shalat. Khusyu’ adalah pemberian dari Allah SWT. Maka manusia seharusnya mengakui kebodohannya, sehingga manusia selalu dan terus menerus mohon kepada Allah SWT untuk menuntun shalatnya (baca artikel-artikel saya mengenai shalat khusyu’). Yang perlu menjadi modal awal seseorang menghadap kepada Allah SWT adalah mengakui kebodohannya sehingga meminta dituntun shalatnya oleh Allah SWT, dan disisi lain manusia harus memiliki keyakinan bahwa dalam shalat dia akan “berjumpa” dengan Allah SWT. Insya Allah, Allah SWT akan memperjalankan hamba-Nya tersebut setahap demi setahap untuk mengenal-Nya dan puncaknya adalah “berjumpa” dengan Dzatullah.
Ketiga, menyerahkan penyelesaian segala masalah yang dihadapinya kepada Allah SWT. Dalam kehidupan di dunia ini, manusia berposisi sebagai obyek dan Allah SWT adalah subyek, pusat dari segala makhluk-Nya yang berada di alam semesta. Manusia ibarat gerbong kereta api (obyek) dan Allah SWT berposisi sebagai “masinisnya”. Allah SWT-lah yang menggerakkan, karena Dia adalah Sang Maha Penggerak. Terserah Sang Masinis, apakah gerbong kereta api mau dijalankan, diberhentikan, di rem bahkan dimasukkan gudang karena sudah habis masa kelayakannya untuk beroperasional.
Bukan sebaliknya, masak gerbong kereta api (obyek) protes ketika masinis (subyek) ingin gerbong kereta api berjalan, gerbong kereta api idak mau jalan, atau sebaliknya. Ya...ini namanya tidak mungkin, lha wong gerbong kereta api itu tidak bisa apa-apa karena dibawah kendali Sang Masinis.
Sebenarnya tidak hanya manusia, alam semesta yang terdiri dari benda-benda langit seperti bintang, matahari, galaksi, juga benda-benda di bumi seperti gunung, tumbuhan, hewan dan bahkan segala jenis makhluk yang berada dalam alam semesta ini semua tunduk dan patuh kepada kehendak-Nya. Cuma karena manusia di-karunia-i potensi an-nafs dan pikiran maka manusia sering protes, semua serba dipikir dengan logika serta tidak mau menerima karena bertentangan dengan keinginan-keinginannya.
Manusia sering memposisikan diri, tidak mau menerima apa yang diberikan Tuhannya, tidak mau ikut kehendak-Nya dan merasa/berhak memilih jalan kehidupannya. Kalau empat kondisi ini yang anda pegang maka bersiap-siaplah anda menderita menjalani hidup ini.
Masalah itu berasal dari Allah, SWT maka kembalikan masalah tersebut kepada Allah SWT. Dia-lah yang akan menyelesaikannya. Jangan dipikir, karena manusia tidak mampu menyelesaikannya. Laa haula wa laa quwwata Illa bilah. Oleh karena itu Allah SWT menyuruh hamba-Nya untuk bertawakal. Perkara berapa lama waktu yang dibutuhkan...ya jangan ditargetkan. Manusia kok menyuruh-nyuruh Tuhan. Di mana logika, etika dan sopan santunnya? Dan apa hak manusia menyuruh-nyuruh Allah SWT? Manusia sebatas memohon dan minta pertolongan, adalah hak preorogatif Allah SWT segala keputusan-Nya. Oleh karena itu, setelah kita memohon pertolongan, ya...nggak usah dipikir lagi. Serahkan totalitas ke Allah SWT. Jadi pada akhirnya manusia “ mengatasi masalah, tanpa masalah”. Hidupnya jadi tentram, tenang dan nyaman. Jadi masalah itu sebenarnya tidak ada.
“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara (masalah) antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Sebab itu bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata”. (QS. An-Naml 27 : 78-79).
Bersambung...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar