DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Minggu, 27 Maret 2011

Salah Paham, Salah Bahan, Salah Bahas dan Salah Takbir


Salah Paham, Salah Bahan, Salah Bahas dan Salah Takbir
(catatan malam takbiran)

Angkat tangan ! hands up ! jangan bergerak ...! Pasti kita sering melihat dialog film seperti itu. Tentu bayangan kita atas dialog itu adalah gambaran seorang dengan posisi tangan di atas dan dalam kondisi mental terpaksa menyerah pada si penodong.....

Allaaaaaahu Akbar .... begitu seriusnya kita mengangkat tangan setiap awal sholat. Kita menyebutnya takbiratul ihram alias mengharamkan sesuatu selain meng"Akbar"kan Allah. Eit, benarkah kita telah berbuat demikian secara lahir batin ? ataukah kita seperti posisi orang tertodong yang terpaksa menyerah sambil diam - diam mencari celah untuk berontak ?

He he...mari kita akui bersama. Sering kayaknya kita ini takbiratul ihram ucap Allahu akbar sampai dahi mengkerut...tapi ndhilalah yang akbar di antara kerutan dahi itu adalah kunci motor yang ketlisut, es teler, piagam penghargaan, jilbab baru, saham blue chip, THR dan sejenisnya. Tergantung momen. Kita menyerah tak berdaya pada hal - hal tersebut. Bukan menyerah pada Allah.

Kalau sudah gini, gimana bisa melanjutkan doa iftitah " inni wajahtu wajhiya... " sedangkan kita masih memandang wajah benda - benda mati kesenangan kita. Ya, sholat kita masih memuja berhala benda - benda yang kita taruh di altar otak plus sesaji bunga warna -warni angan -angan kita sendiri. Kita salah membawa bahan yang akan kita haturkan pada Allah.


Salah bahan dalam bertakbir ini juga karena kita menghadap Gusti Allah laiknya seperti menghadapi ujian skripsi. Kita bingung mempersiapkan argumen - argumen keilmuan agama. Padahal takbir adalah mengAkbarkan yang kita hadapi. Bahan yang diperlukan untuk mengakbarkan Allah adalah pengakuan keluruhan diri. Bahwa kita tak ada apa - apanya. Sama sekali bukan bahan keilmuan, kekuatan olah tubuh, kekuatan golongan, ras dan sejenisnya.

Bahan yang diperlukan dalam bertakbir adalah tidak membawa bahan apa - apa itu sendiri. Tak lain agar dahi kita tak tertutup macam - macam angan - angan yang membuat kita tak mampu memandang wajah Allah. Ya, bahan bertakbir adalah berserah-islam dan uluk salam menunduk dengan sadar diri fana.

Dan sesungguhnya bila kita mampu bertakbir dengan benar, kita akan sesenggukan merasa apalah arti kecerdasan, kesaktian ataupun kekayaan kita. Semua nol.

Saat kita ikhlas bertakbir me-nolkan diri, Maka yang Satu Ini akan muncul dengan sangat jelas. Ya, sangat jelas Akbar Sekali meliputi segalanya. Preman, kecoak, semut, iblis, Yahudi, Nasrani, liberal, garis keras, Sunni, Syiah terliput dalam satu keakbaran tunggal. Tak ada yang bisa lepas sedikitpun dari genggaman Maha Ahad. Ya, tak ada yang bisa lepas sebutir zarah pun....

Memang pemahaman seperti ini kalau kita mengedepankan sikap apriori dengan alasan pemahaman semacam ini asing tak pernah ada di file otak kita, maka yang terjadi hanyalah salah paham. Kita pun mentakbirkan kesalahpahaman tanpa kenal henti demi kepuasan nafsu mendebat. Mungkin kalau diladeni bisa - bisa jadi salah takbir berjamaah....

Kalau salah urat sih mungkin bisa dipijit diurut. Dalam beberapa hari pun akan sembuh. Tapi bagaimana dengan salah paham. Kadang berganti generasi pun belum tentu luka di hati ini bisa sembuh...

Seperti kegemaran pribadi dalam dunia tulis menulis pun tak luput dari banyak protes dan salah paham. Pertanyaan utama biasanya: " Nulis berbau religius kok gak ada dalilnya sih ... ?" mana dasar ayatnya... ? atau sindiran bahwa sesatlah seorang yang hanya menuruti angan - angannya saja...dan masih banyak lagi. Pastilah semua tonjokan itu tentu disertai dengan dalil - dalil yang sangat ampuh untuk menyudutkan orang yang tak sepaham....

Padahal niat awal menulis secara pribadi hanyalah memudahkan meng"kaji" pemahaman diri sendiri. Atau paling banter sekedar sharing sesama teman yang sudah kenal. Tak ada niat menceramahi orang lain. Lha wong saya bukan ustadz hare.... juga memang gak ada level atau kaliber ke arah situ kok.

Tapi tentu wong namanya mengkaji, ya pasti sebelumnya ada yang dijadikan bahan kajian. Setelah bahan itu terenungi, barulah dijadikan uraian yang mudah dipahami.

Misalnya, sampeyan lebih sreg mana tulisan ringkas " Yang menjadikan rumah bisa berdiri bukanlah materi itu sendiri, melainkan diri kita yang diliputi daya hidup ". Contoh gampang, rumah yang tak pernah dihuni pasti cepat lapuk dan ambruk. Tetapi rumah walau reyot, tak akan mudah ambruk bila di dalamnya penuh daya hidup yang bersih. Bisa kita lihat masjid -masjid tua yang masih banyak kokoh berdiri walau tak menggunakan tehnologi tinggi.

Atau gaya penulisan seperti di bawah ini :
(Buka kurung) Yang menjadikan rumah bisa berdiri bukanlah materi itu sendiri,melainkan diri kita yang diliputi daya hidup .rujukan>(Dan orang-orang yang di atas A′raaf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan mengatakan: "Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfa′at kepadamu." ( Al A'raf 48 ) Tetapi rumah walau reyot, tak akan mudah ambruk bila di dalamnya penuh daya hidup yang bersih. Bisa kita lihat masjid-masjid tua yang masih banyak kokoh berdiri walau tak menggunakan tehnologi tinggi. rujukan>( Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.Al baqarah 149 )*catatan ayat pertama : pada peradaban modern kota di Latvia harganya cuma 2 milyar rupiah karena tak berpenduduk. Jadi nilai tertinggi adalah mahluk hidup itu sendiri. Lebih tepatnya daya hidup. Bukan materinya. Sia -sia bila manusia tanpa daya hidup. Sebab walau ada manusia tapi tanpa daya hidup, kota itu malah tak laku karena jadi kota zombie. Atau rumah yang tak berpenghuni biasanya cepat ambruk>teringingkari / tak tercover / kafir dari kepemilikan>(harta adalah benda mati, sedang A'raf adalah tempat tertinggi yang menyiratkan lebih tinggi dari benda mati, yaitu kehidupan itu sendiri,* sesungguhnya - ( akhirat, idem )*Keterangan ayat kedua : makna masjid adalah tempat bersujud. Ketika hati kita bersujud ( dimana yang dimaksud hati adalah jantung- sesuai hadits bila satu bagian tubuh baik maka baik semua, bila buruk buruk semua yaitu jantung ), maka keteraturan detak jantung akan membuat keselarasan cipta karsa manusia. Sehingga kehendak manusia akan menyatu dengan kehendak Allah. Di sinilah termaktub janji Allah pada akhir Ayat bahwa Allah tak akan lengah dari apa yang kamu kerjakan. * A'raaf = tempat tertinggi yang berarti secara epistimologis adalah bla...bla..bla...( tutup kurung)

Mungkin tulisan gaya ke 2 ini malah bikin bingung. Sebab penulis juga harus bekerja keras lagi menjelaskan antara tulisan dengan korelasi ayat. Akhirnya yang membaca bingung, yang menulis juga capek. Pembaca yang awalnya ingin meringankan beban pikiran, malah kepikiran dua kali.

Inipun kalau ditinjau sebagaian cendekiawan agama walau kita sudah menyertakan dalil, tetap saja masih dianggap bukan meng"khidmat"i Quran. Alasannya karena itu masih sebatas terjemahan, bukan Quran asli. Masih bisa salah tafsir atas kekeliruan makna huruf dan ucap. Sebab Qur'an asli haruslah mempunyai ketegasan dan kejelasan uslub, nahwu sharf, balaghah, mahraj, tajwid, tasydid, tartil dll.

Belum lagi tentang pertanyaan sumbernya dari Mushaf Utsmani kah atau cetakan Mesir dan banyak hal lain.Hmmh...ini masih urusan ilmu dhahir sudah demikian melelahkan orang beragama. Belum lagi urusan bathinnya mengenai masalah sanad ahlul bait, jalan tarekat, mutabarok, wali, mursyid, kamilun mukamil dan sebagainya.

Aneh ya ? satu agama dan satu Tuhan yang sama saja sudah bersengketa...kalau dah gini bagaimana kita bisa menerapkan ayat lakum dienukum waliaddin yang jelas -jelas lebih berat amanatnya....?

Belum lagi kita masih diamanati Al Hujurat 13 :Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku -suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal...

Nah, apakah ayat Al Hujurat 13 gampang diterapkan ? mengingat setiap suku mempunyai kebudayaan, bahasa dan logat yang bila kita tak mau saling mengenal bahan budaya ini, pasti akan mudah terjadi salah paham karena ada kesalahan pembahasan.

Faktanya, dengan istilah yang sama, ternyata walau satu region akan terjadi perbedaan makna. Ambil contoh kata " ditiliki ". Ditiliki bagi orang Malang bermakna dicicipi ( lidah ). Tetapi bagi orang Jawa tengah bermakna dilihat ( mata ). Walau keduanya berumpun ke maksud "diperiksa". Misalnya, saya asli Malang Jawa Timur, istri Semarang jawa Tengah. Suatu saat tiba - tiba mertua teriak " dodyyyy...tuh anakmu di belakang lagi be'ol...mbok ya ditiliki duluuuu...dari tadi panggil - panggil kamu... "

Nah lo !

Lha kalau saya hanya mengikuti bahan pengetahuan pribadi tanpa ada kemauan mengenal bahasa orang lain, apa hal sepele semacam ini bukannya tidak mungkin menjadi perpecahan rumah tangga ? Dari hal - hal salah paham akan penggunaan bahasa inilah yang sering menjadikan perpecahan dalam urusan takwa. Padahal takwa adalah urusan takut kepada Allah, bukannya menakut - nakuti orang lain. Apalagi mengkafirkan dan mensesatkan yang lain.

Persoalan budaya bila kita tak mau mengamalkan ayat Al hujurat 13 kadang membuat manusia menjadi orang - orang stereotype, apriori dan sinis. Tentunya semua sifat tersebut akan mereduksi makna Akbar itu sendiri.Misalnya, dan yang paling krusial di Jawa adalah istilah Islam Kejawen. Pada umumnya orang yang ingin memurnikan ajaran Islam akan menghakimi istilah ini. Padahal nalar sederhananya adanya istilah tersebut karena sebuah landasan ayat Al Hujarat 13 tadi. Dengan kata lain Islam mewajibkan mengenal budaya setempat dimana seseorang akan berdakwah.

Yang lucu juga kita menganggap Islam kejawen diajarkan oleh wali tanah Jawa alias wali songo. Padahal wali songo sendiri berasal dari keturunan Cina dan jazirah Arab ( kecuali Sunan Kalijogo ). Pointnya, para wali tidak mungkin mengajarkan kejawen karena para beliau bukan orang Jawa. Dan tidak pula memaksakan Kearaban atau Kecinaannya. Yang ada hanyalah keislaman yang ditanamkan dan disesuaikan tanah yang dipijak.

Jadi di sinilah letak kebesaran walisongo karena mau menjadi Jawa agar kelak orang menganggap Islam ya Jawa, jawa ya Islam. Alias Islam bukanlah hal asing. Terbukti orang yang lahir di Jawa rata - rata otomatis mulai kecil merasa dirinya Islam, bukan agama lain.Yang masih sering terjadi Ketika seorang berdakwah dengan cara Jawa, pasti dianggap ajaran Kejawen, bukan Islam murni. Lha tapi ketika pengkritiknya diajak bahasa Arab full supaya lebih terlihat Islami, ndhilalah ternyata juga nggak ngerti. Dan juga apakah jaman wali dulu ada bahasa Indonesia ? Gak ada kan ? Indonesia aja juga belum lahir tuah... Nah, serba salah kan?

Kalau kita fair dengan cara pandang sempit ini, seharusnya juga menganggap Islam yang dipelopori Hamzah Fansuri sebagai Islam Kesumateraan beserta apriori cara pandang budaya yang tak seide. Berlanjut ada istilah Islam Kekalimantanan, Kedayak - dayakan dll. Tentunya orang Islam di luar daerah itu juga berhak sinis memandang model -model tersebut. Padahal semua itu sesungguhnya terjadi dengan asas ayat tersebut.

Hmmh...apa salah bahan kali yaaa..... Tapi memang terlalu banyak Bahan - bahan yang salah letak bahasannya terlanjur memasuki otak dan akhirnya menjadikan cara beragama kita repot dan sinis karepe dewe...

Haduh...begitu rumitnya beragama....sampai - sampai sholat yang intinya adalah shilatun-sambungnya tali hati kepada Allah menjadi tali rumit yang tak jelas sambungannya. Apa kerumitan ini karena kebanyakan buat mentali-ikat berbagai macam ilmu tadi ya?

Seperti yang dibingungkan seorang sahabat tentang bagaimana berjamaah bila sang imam dalam membaca surat kurang sip masalah makhraj, tajwid dan tartilnya. Bukankah imam harus paling fasih bacaannya ? kalau sudah gini apa lebih baik sholat sendiri?

Belum lagi kalau pertanyaan seperti ini masih didetailkan lagi ke masalah presisi pengucapan huruf krusial. Contohnya, menurut ulama A pengucapan paling sulit dan harus presisi pada huruf arab Adalah kha' sedangkan ulama B huruf tsa'. Dan pelajaran untuk sekedar memfasihkan dua huruf ini bisa memakan waktu tidak sebentar.

Padahal ada karib saya gak mahir bahasa Arab tapi kalau sudah niat berdoa kok ya musti ma'bul. Hmmmh...jangankan bahasa Arab, bilang Allah saja lidahnya kelu belepotan hare...bisanya Awwohh....

Tetapi faktanya ud'uni astajib lakum telah mengalir di darahnya, berdoalah padaKu pasti Kukabulkan. Hal ini karena KU-nya telah ketemu. Sebab orang yang tak dikabulkan doanya karena KU-nya belum ketemu. kesadaran Ku-nya masih ku kecil ego diri. Bukan sesungguhnya KU yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.

Intinya, tak dikabulkan doa karena tidak berdoa kepada-KU. Melainkan berdoa kepada angan - angan, perhitungan - perhitungan ilmu, dan alam -alam ghaib yang kadang malah melenakan. Walaupun semua aktifitas itu disertai dengan menyebut asma Allah, tetapi Ku-nya yang sesungguhnya masih ketlisut ditumpukan urusan keseharian....haduh...

Balik lagi, dengan keterbatasan pribadi muncullah jawaban ( kelas makmum ) atas pertanyaan sahabat tentang perihal fasih, seperti ini :
Seperti orang Jepang yang gak bisa omong huruf mati ( nama Aris menjadi Ariso ), orang Inggris gak bisa ucap R tegas, orang Arab gak bisa ucap E, orang Sunda gak bisa ucap F. Lalu apakah yangg terfasih orang Jawa ? Dengan fakta orang Jawa bisa fasih menirukan segala macam model ucap berbagai manusia sedunia. Faktanya juga banyak pesantren di Jawa yang menelorkan santri fasih bahasa Arab melebihi orang arab sendiri.

Tapi apa sih yang dimaksud fasih ? Juga apa yang dimaksud shalat ?

Kalau kita terhenti diperdebatan kefasihan mulut, saya jamin kita semakin lama semakin berat terbebani dengan urusan sholat. Padahal sholat fungsinya untuk meringankan beban. Dan faktanya ada golongan yang ketika orang lain sholat di masjid mereka, lantai langsung dipel. Hal - hal ini awalnya ya berangkat dari permasalahan begini - begini. Bagaimana juga sejarah memaparkan pertikaian NU - Muhammadiyah karena urusan qunut.

Padahal ketika baca Quran waktu sholat, jelek bagus pengucapan toh faktanya banyak yang gak tahu artinya. Padahal arti inilah yang membuat sholat kita sambung-shilatun.

Bagi pribadi, yang lebih penting dalam berjamaah, kita cukup mengetahui arti dan makna saja agar komunikasi kita dengan Allah bisa berjalan dengan jelas dan benar, alias FASIH. Seperti anak kecil yang belum fasih bilang " ampu..tom..pas " sambil menunjuk lampu, strom dan kipas. Pastilah kita tahu maksud si kecil. Hal ini karena ucapannya dibarengi menunjuk.

Jadi yang berharga adalah petunjuknya. Berarti imam yang benar, porsi utamanya adalah kefasihan memberi petunjuk, bukan kefasihan mulut. Karena banyak yang fasih mulut tetapi kadang malah bikin kacau keadaan karena kekakuan individunya.

Nalar sederhananya, kalau ukurannya kefasihan mulut, karena besok di akhirat katanya yang diterima adalah sholatnya dulu, berarti yg masuk surga hanya orang Arab dong. Dan kita - kita yang cedal ini walau amal satu trilyun atau menolong jutaan orang, bikin ribuan masjid dan pesantren tetep gak nominasi masuk surga. Lha wong cedal plethat plethot hare.....hmmmh...kalo dah gini, apa lebih baik kita gak usah amal atau sholat sekalian?

Dan kita juga lupa kalau Rasulullah adalah ummi dan malah sering menyuruh Bilal membacakan beberapa ayat sampai nabi menangis ketika ingat makna dan tujuan bacaan itu. Padahal Bilal cuma budak...kenapa kok rasulullah mau mendengar ayat -ayat suci dari mulutnya?

Dan bisakah tingkat kefasihan Bilal dibandingkan dengan para penyair Arab yang waktu itu menjadi masyarakat strata teratas berkat kefasihan bicaranya ? Kenapa Rasulullah tak memilih mereka?

Sebenarnya sih Bilal lebih fasih, tetapi fasih penghayatan rintihan hatinya....ya, kehadiran hatinya...

Hmmh...Padahal bagi pribadi sholat itu mudah. Kalau kanjeng Nabi sudah terang -terangan dawuh bahwa sholat itu istirahatmu, sholat adalah kumpulan doa pengharapan, maka ya lakukan saja seperti itu. Gak perlu dianeh -anehkan dan dilebih -lebihkan. Sebab nanti malah gak sambung sama Gusti Allah, melainkan ketemu alam -alam aneh yang akhirnya kita malah melebih-lebihkan diri, Riya.

Emm, maksudnya gini. Pertama, apa sih istirahat paling nyaman ? tentu tidur kan. Nah, biasanya tidur kan di atas kasur, sekarang coba di atas sajadah tapi dalam posisi berdiri. kedua, sampean ingat - ingat dulu gimana sih mental kita saat pengen tidur. Orang tidur pastilah meletakkan segala macam pikiran, merilekskan dan melemaskan badan sambil menikmati kenyamanan diri untuk kemudian berangkat melepaskan diri ke alam tidur.

Sekarang, sampean coba kondisi tersebut dalam keadaan berdiri ketika akan takbiratul ihram. Mudahnya coba ingat - ingat pengalaman rasa sampean saat berdiri di bis yang gak kebagian tempat duduk dan berasa pada situasi sangat ingin tidur tetapi tetap terjaga. Agar turunnya tidak kebablasan salah jalan.

Kemudian dalam posisi bathin seperti itu, pasrahkan keadaan diri dengan memulai takbiratul ihram. Bleng ! ketika tangan bersedekap, saat itulah kita langsung merasakan realita keakbaran. Dalam realitas kesadaran akan keakbaran Maha Luas Meliputi Segala Sesuatu Tak Tertanding Ini, gantungkanlah harapan - harapan, doa doa yang telah diajarkan Kanjeng Nabi.

Daaan...selamat merasakan apa yang selama ini hanya sekedar sebatas ucap...inni wajahtu....sebuah proses berhadap - hadapan langsung. Lepas meninggalkan alam - alam, ilmu - ilmu, gambaran - gambaran dan golongan - golongan. Di wilayah ini, khusyu akan terbentuk sendiri, tuma' ninah juga terbangun dengan sendirinya. Gak dibuat -buat. Apa ini yang dimaksud ayat tak ada paksaan beragama, La ikraha fiddien... ? monggo direnungi sendiri.

Kita pun akan bisa dengan sendirinya membedakan sholat kita khusyu' atau amburadul tanpa perlu referensi dari luar. Sholat yang tidak khusyu layaknya makan yang walaupun empat sehat lima sempurna tetapi tanpa dikunyah dengan tenang dan lembut. Akhirnya walau secara persiapan dan bahan terlihat berkualitas, endingnya hanya merusak pencernaan. Makanan yang baik pun berubah menjadi perusak tubuh. Sudah merasa makan yang berkualitas tapi rasanya kok tubuh ini selalu melilit kesakitan....haduh...hatiku melilit - lilit.....

Kita pun akhirnya paham ayat bahwa sholat mencegah fasik dan mungkar bukan untuk diarahkan orang lain. Ketika kita kehilangan rasa keakbaran dan rasa tenang menghadap dalam sholat, berarti kita telah fasik dan ingkar terhadap pencernaan ruhani sendiri. Kita telah merusak dan ingkar terhadap sebuah keakbaran. Kita selalu keburu - buru di hadapan Allah. Hingga pencernaan ruhani jadi rusak.

Ruginya, karena pencernaan ruhani rusak, tentu kita tak mampu lagi mencerna dan memahami ayat - ayat Quran. Pekerjaan kita dalam " mengkonsumsi " Quran pun akhirnya hanya sekedar menyuap ke mulut lalu dimuntahkan lagi pada orang yang sedang dihadapinya. Tak ada pencernaan, pemahaman dan perenungan lembut yang membuahkan daging ruhani. Hmmh ... ruhani yang kurus kering .......

Rasa -rasanya memang kita ini bagaikan orang yang bertemu presiden tapi masih sibuk ngobrol sendiri dan tengak -tengok kanan kiri. Kira - kira sang presiden reaksinya gimana ya ketika lihat orang kayak kita - kita yang masih suka tengak tengok ini... ?

Mungkin pak presiden akan bilang gini " Celakalah orang yang menghadap saya ini !

Kalau dalam sholat mungkin ayat yang tepat adalah " celakalah orang yang sholat ..." wheiks!

Sholat kita pun benar -benar sia - sia. Kita minta petunjuk tapi saat diberi petunjuk, kita malah tolah - toleh sibuk sendiri. Pikiran kita ngoceh sendiri sampai tak mendengar petunjuk yang diberikan. Akhirnya walau petunjuk itu sudah diberikan, kita tak pernah merasakan diberi petunjuk apapun seusai sholat. Hidup kita jalani tanpa petunjuk, sesat. Ya, sesat bukan untuk diarahkan kepada orang lain. Sesat adalah untuk menunjuk diri sendiri.

Eh, tapi semua ini cuma pengalaman pribadi lho. Sama sekali bukan untuk menggurui dan mengajari sampean tentang hal yang bisa jadi dianggap aneh bin sesat wal bid'ah. Dan dari model sholat pribadi seperti ini, saya mengalami kenikmatan ibadah sholat melebihi apapun. Walau terus terang sholat masih sangat pas - pasan.

Memang sih, ilmu seperti tarikh, syariat, nahwu sharaf, balaghah, mantiq, fikih, tauhid dan sejenisnya tetaplah sangat penting dijaga dan dijunjung tinggi. Asalkan kita bisa meletakkan bahan semua itu pada tempat pembahasannya. Tak lain agar umat merasa terpayungi, bukannya malah bertambah takut dan bingung. Sebab takut atau takwa haruslah tetap diarahkan pada Allah. Bukan pada Kyai, Mursyid, Ustadz dan kitab - kitab akibat kita terlanjur meng-Akbar-kan dalam bayangan dahi -dahi kita.

Bila sampai penerapan dan pembahasan berbagai displin ilmu tersebut membuat ketakutan umat, jangan -jangan nanti Al Quran nasibnya hanya seperti senjata pusaka seorang raja. Tak sembarangan orang boleh menyentuh. Fetakomplinya, kita hidup setiap hari penuh masalah. Lha kalo Al Quran gak boleh dipahami sesuai kontekstual permasalahan dengan alasan kita tak punya kompetensi, terus para makmum yang dilanda kebingungan itu mencari petunjuk kepada siapa?

Padahal tak setiap hari para imam mendampingi kita layaknya ibu yang setia setiap saat menemani si bayi yang sedang belajar tumbuh dewasa.

Bila seperti ini, Qur'an pun berakhir menjadi seperti harta karun tak ternilai yang berada di dalam tanah. Tak ada yang bisa menggunakan untuk menutup kebutuhan hidup karena prosedural yang tak memungkinkan bagi orang kelas makmum yang hidupnya jelas -jelas terlunta -lunta dan butuh petunjuk.

Akhirnya kita pun malah benar - benar tersesat karena tak berani membaca Al Quran. Realitasnya harus kita akui bahwa kompensasinya kaum muslim lebih sanggup membaca berbagai macam ratusan ribu hadits dan kitab klasik sampai modern sampai berlemari -lemari dengan lahapnya. Tetapi menikmati dan memetik makna 30 Juzz ?

Duh Gusti...
Mungkin saya sekedar berimajinasi sedih bila kelak di surga Kanjeng Nabi mbatin nelangsa " Lho? Mana umatku yang sangat kubanggakan? Kok gak ada yang di sini Padahal saat hidup telah kuperjuangkan mati - matian. Jangankan yang sudah bersyahadat, yang kafir saja kudekati sepenuh hati agar mereka mau bersyahadat sebagai tiket masuk surga....

Semua telah tumbang di tengah perjalanan sirathal mustaqim karena tak berani membaca Al Quran sebagai hudan lil nas, petunjuk bagi manusia. Bahkan sesungguhnya petunjuk bagi orang yang tak pernah bersyahadat sekalipun.

Faktanya banyak sekali ilmuwan barat yang kita anggap kafir mampu mengeksplorasi ide - ide dasar ayat Quran tuk digunakan pijakan sains dan tehnologi. Dan lucunya setelah mereka menemukan korelasi ilmiah antara ayat dan science kemudian berhasil menjadikan petunjuk kemakmuran dunia, kita pun sami'na wa ata'na. Manut. Padahal di sisi lain kita masih bersikeras bahwa Quran hanya boleh dimaknai, ditafsir dan dihujahkan oleh para pakar agama Islam. Bingung....

Yah, Qur'an bukanlah milik para cendekiawan muslim saja....Qur'an adalah milik siapa saja yang mau hadir di dalam lautan maknanya. Qur'an adalah tool untuk menguak dan meneguhkan sebuah ke-Akbar-an. Sebuah jalan untuk menahlukkan keangkuhan pribadi, muslim maupun kafir. Sebuah bypass shiratal mustaqim. Jalan lurus menuju nirwana....

Dan makna jalan menuju surga bagai rambut dibelah tujuh bukanlah sebuah gambaran fisik ataupun kecerdasan referensial otak. Melainkan keteguhan hati bertakbiratul ihram karena telah memahami sebuah realitas perjalanan keakbaran yang banyak dimassage dalam Qur'an. Bukan sekedar modal katanya doang.

Dan logika sederhananya, kalau jembatan surga cuma gambaran fisik pastilah yang nyampai ke surga duluan dan punya nyali melewati jembatan rambut dibelah tujuh adalah pemain akrobat tali. Dan kalau pun dihitung berdasar kecerdasan referensial otak atas ilmu kitab -kitab baik yang kuno sampai posmo, pastilah orang Yahudi atau pendiri Google sudah dapat tiket duluan.....

Mungkin sudah saatnya kita tak lagi saling berdebat tentang seremonial kefasihan kata - kata yang sering berakibat pertikaian. Lebih baik kita belajar mempertanyakan pada diri masing - masing apakah seremonial hati kita telah benar - benar teduh berlabuh pada Allah Yang Maha Akbar....

Yuk kita belajar bareng - bareng supaya bertemu shiratal mustaqim. Jalan lurus...Tidak jalan yang kekirian keras frontal, juga tidak kanan yang lembek permisif liberal.....karena kata kanjeng Nabi, sebaik-baik jalan adalah yang di tengah...agar hidup tak salah takbir mengakbarkan yang bukan Maha Ahad.

Mari berjamaah dengan Gusti Allah, ehmm maksudnya selalu mempunyai kesadaran gerak bahwa tiap helaan nafas hidup ini selalu diliputi dan dibarengi Allah.

Dan mari berhalaqah dengaan para nabi dan orang shalihin dengan cara mengucapkan dan memahami arti tahiyat sholat sepenuh hati....yah, sebuah halaqah lintas golongan dan kelompok.....halaqah semesta rahmatan lil alamin.

Tak lain semua itu sekedar memberi baju ihram hati kita...agar ketika takbir dimulai, kita sanggup mengharamkan jahitan dan warna - warna berbagai macam baju gerak pikiran yang menoleh kiri kanan yang menghijab keAkbaran itu sendiri.........

Yah, takbiratul ihram adalah kesanggupan mengharamkan segala sesuatu selain tanpa dibarengi pemahaman keAkbaran Allah yang meliputi segala hal. Yang bermakna bila kita memandang, mendengar dan mencecap segala sesuatunya harus tembus pada pandangan akhir Allah. Semua hal harus ada Allah-nya. Susah, senang dan guyon pun harus berhappy ending pada keakbaran Allah.

Bila memandang manusia yang tak seide, jahat, jorok, kotor, pendosa dan sejenisnya kita tetep berteguh bahwa di dalamnya tetap ada keakbaran Allah. Bila kita tak bisa menemukan Allah di situ, jangan - jangan kita masih takbir narcis. Terlalu mengakbarkan ego kesucian diri.

Sebab manusia adalah minruhi. Cipratan Ruh Allah Yang Maha Suci itu sendiri. Seburuk apapun perilakunya.....

Hmmmh...tapi susyyaaaaahh ya takbiratul ihram seperti ini ? saya sendiri pada prateknya ya nggeblak - nggeblak gulung kuming hare.....

Tapi enak lho kalau sudah punya kesadaran gini. Dimana pun bumi dipijak adalah tempat bertakbir dan bersujud. Nggak harus nunggu masuk bangunan yang bernama masjid.

Maka ketemulah makna ayat " Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. ( Al Baqarah 115 ) Akhirnya kita pun hidup dimana-mana jadi terasa enjoy dan lapang. Sujud dan mencari surga pun tak perlu berdesak - desakan rebutan pahala sambil menyikut teman sendiri seperti orang rebutan mencium Hajar Aswad.....

Wa ba'du, semoga dengan adanya catatan kecil ini dalam ber-habluminannas kita tak lagi mudah salah pahas karena salah baham. Eh, salah paham karena salah bahas ding........

Selamat menggemakan takbir di relung hati....sesuatu yang tak terdengar tapi lantang bergemuruh.....ya, sebuah takbir yang melegakan dada sepanjang waktu....Minal Aidin wal Faidzin, taqobballahu minna waminkum....Mohon Maaf Lahir bathin....

Te te de, makmum masih salah teyuuus...
Dody Ide
(dari seorang Sahabat)

Senin, 14 Maret 2011

Dakwah Yang Mencerahkan



MENGAPA TAK MENCERAHKAN?
(Prolog)

Harga Buku : Rp. 30.000,-
Penulis : Iwan Fahri Cahyadi
Halaman : 162 lembar
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Tersedia di toko-toko buku besar (Gramedia, Gunung Agung, Dll)

Hampir sebagian besar kita meyakini bahwa dakwah adalah upaya membuka dan memperdalam cakrawala ilmu pengetahuan tentang agama. Dakwah juga dapat diartikan sebagai langkah untuk mencerahkan umat. Jadi fungsi dari dakwah ialah sebagai ujung tombak dalam upaya syiar agama.

Berhasil tidaknya pembinaan dan pencerahan terhadap umat tergantung dari bagaimana kemampuan, cara penyampaian, pemahaman dan penguasaan materi dakwah yang disampaikan. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa betapa vitalnya peran dari juru dakwah untuk mengawal umat agar tetap berjalan di atas rel ke-tauhid-an. Karena bagaimanapun juga posisi pendakwah berada di garda depan atau ujung tombak bagi syiar agama. Targetnya? minimal mampu mempertahankan umat sehingga tidak luntur keimanannya. Syukur-syukur mampu menarik perhatian umat lain untuk memeluk agama yang disyiarkan.

Kehadiran para juru dakwah ditengah umat tidak hanya sebagai panutan, namun lebih jauh daripada itu yaitu mampu memberikan pencerahan (enlighment) atas berbagai persoalan dalam beragama yang dihadapi dan dialami oleh umatnya. Wajib hukumnya bagi mereka dalam menguasai ilmu agama secara holistik tentang berbagai hal persoalan agama, terutama pemahaman atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Dua buah “pusaka” yang dipesankan dan diwariskan oleh Nabi SAW (sebelum Beliau wafat) kepada umatnya agar selalu berpegang kepada dua perkara tersebut sebagai rujukan untuk menyelesaikan berbagai masalah umat dalam beragama. Hal ini tidak terlepas dari berbagai macam variabel masalah yang muncul karena semakin kompleknya masalah disebabkan faktor perkembangan dan dinamika jaman.

***
Melihat besarnya animo dan antusiasme umat islam di Indonesia untuk mempelajari dan memperdalam kajian agama islam pada akhir-akhir ini sungguh sangat menggembirakan. Hal ini bisa kita lihat dengan tersedianya ruang untuk berdakwah yang ditayangkan di beberapa media elektronik (televisi) setiap harinya (biasanya pagi hari setelah subuh). Bagi pendakwah, ini adalah peluang, karena kesempatan tidak datang dua kali. Seorang juru dakwah harus jeli melihat kondisi ini. Adanya minat, semangat dan keinginan umat memperdalam kajian agama, akan mempermudah untuk mengembangkan syiar. Seperti hukum fisika, adanya aksi reaksi.

Bahkan antusiasme umat dan media dakwah mencapai rating tinggi pada saat bulan ramadhan datang. Hampir seluruh stasiun televisi menyuguhkan dan memberi porsi tinggi untuk acara keagamaan, baik pada pagi maupun sore hari, terutama saat menjelang sahur dan berbuka puasa. Kemasannya pun bermacam-macam, mulai dalam bentuk tausyiah, tanya jawab, dzikir bersama, tafsir Al-Qur’an, sinetron religi maupun pengobatan yang dibungkus dengan bandrol agama. Bahkan iklan-iklan yang ditayangkan pun dikemas dan dibuat secara khusus agar bersentuhan dengan dimensi nilai-nilai keagamaan. Meskipun sifatnya temporer. Ini semua sah-sah saja.

Upaya melakukan syiar islam juga ditempuh melalui berbagai cara, misalnya, kajian-kajian dan temuan-temuan yang sifatnya mempermudah, seperti cara penguasaan membaca Al-Qur’an dengan cepat dan lancar, penulisan buku-buku, majalah maupun menerjemahkan tulisan hasil karya para ulama jaman dahulu yang di-translate dalam bentuk bahasa Indonesia, sehingga mudah dipahami.

Ruang dakwah tidak hanya tersedia pada media cetak dan elektronik. Bahkan untuk menampung dan mewadahi antusiasme masyarakat maka beberapa trainner mencoba menawarkan media dakwah dengan memberikan pencerahan dan pendalaman agama melalui metode pelatihan-pelatihan khusus dengan materi yang khusus pula. Ibarat seorang master, para trainner umumnya menguasai secara mendalam materi yang akan disajikan secara khusus tersebut. Pelatihan ini semata-mata untuk memperdalam kajian suatu materi sekaligus melakukan praktek, mengingat media elektronik dan cetak dirasa kurang cukup mengurai dan mampu menampung pembahasan secara lebih mendalam dan mendetail tentang materi yang akan disampaikan mengingat terbatasnya waktu dan ruang.

Di samping berbagai cara di atas, banyak juga dakwah yang belum sempat terekspos. Umumnya dakwah ini bergerak dalam skala lokal dan lebih sempit yang sifatnya rutin maupun sesaat, seperti memberikan tausyiah di masjid/mushola yang biasanya diwadahi kelompok-kelompok pengajian, pada saat acara keagamaan, atau pesantren kilat yang diadakan pada saat bulan ramadhan yang sifatnya temporer.

Yang justru menjadi pokok persoalan sekarang dan sekaligus menjadi bahan pertanyaan adalah mengapa berbagai upaya, cara dan metode dakwah diatas seolah-olah tidak terjadi relevansi dan signifikansi antara frekuensi dakwah yang disampaikan dengan perubahan perilaku masyarakat/umat di Indonesia. Kalaupun ada sifatnya sementara, tidak istiqomah (konsisnten dan kontinyu). Hal ini menjadi pertanyaan besar. Karena dalam realitanya banyak masyarakat kita yang masih asyik dan akrab melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji atau suka berbuat keji dan mungkar.

Sebagai contoh, berdasarkan hasil riset lembaga The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia, disusul Thailand, sebagai negara terkorup di Asia. Riset tersebut dilakukan pada Maret 2009 terhadap 1.700 responden pelaku bisnis di 14 negara Asia, ditambah Australia dan Amerika Serikat. Sungguh sangat ironis, Indonesia yang penduduknya mengaku beragama namun pada kenyataannya memiliki reputasi yang kurang baik di mata dunia.
Belum lagi kasus-kasus lain seperti meningkat kriminalitas dengan modus operandi yang konvensional maupun canggih, problem lingkungan (pencemaran, penebangan liar hutan, penjarahan binatang langka, dll), kenakalan remaja, dan banyaknya masyarakat yang sudah kehilangan akal sehat (stres, depresi, dan kehilangan kepercayaan diri) karena menghadapi masalah yang sebetulnya tidak rumit dan pasti ada solusinya bila mau sedikit bersabar. Ini terlihat dari maraknya kasus bunuh diri akhir-akhir ini sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Gejala apa ini semua? Padahal tujuan dan fungsi agama adalah sebagai solusi dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Apakah kondisi ini disebabkan karena antusiasme umat untuk memperdalam kajian agama hanya bersifat euforia (ikut meramaikan), temporer, hanya sebagai trend yang sifatnya sementara atau agama hanya dipandang hanya sebatas ilmu pengetahuan (teoritis) saja dan ilmu agama hanya berhak disimpan rapi di dalam otak manusia tanpa mau mengaplikasikannya? Ataukah umat mengalami degradasi keyakinan, sehingga sudah tidak percaya lagi dengan Tuhan? Kalau hal ini semua yang terjadi, tentunya sangat disayangkan dan sungguh memprihatinkan. Karena inti dari agama adalah aplikasi ilmu pengetahuan yang diejawantahkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Bisa jadi asumsi yang saya kemukakan diatas salah, karena hanya dipandang dari salah satu sisi umat saja yang di-kambinghitam-kan, tentu hal ini tidak fair. Boleh jadi justru kesalahan terjadi pada cara syiar yang disampaikan oleh para juru dakwah yang selama ini mungkin kurang tepat dalam meramu perangkat cara syiar sehingga ujung-ujungnya justru tidak membawa pencerahan umat seperti yang diharapkan selama ini.

Seandainya kedua asumsi diatas~katakanlah~salah, lalu mengapa fungsi dakwah seolah-olah mandul? Mengapa Nurullah (cahaya dari Allah) tidak menyinari umat islam? Ataukah karena metode dakwah selama ini banyak yang tidak mengikuti petunjuk Allah, nabi/rasul-Nya dan isi Al-Qur’an sehingga tidak membawa rahmat, berkah dan hidayah bagi umat?

Lalu benarkah posisi pendakwah dipandang sebagai subyek sementara umat hanya sebagai obyek? Betulkah pendakwah adalah pihak yang berhak mencerahkan dan umat adalah pihak yang dicerahkan?

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.