KAYA MATERI DENGAN SHADAQAH?
Assalamu’alaikum Wr.
Wb.
Pada beberapa tahun
belakangan ini, sering kita melihat tayangan di televisi (media elektronik)
maupun membaca buku-buku ke-agama-an atau motivasi (media cetak) yang membahas
tentang shadaqah (sedekah). Baik tayangan media elektronik maupun cetak
membicarakan dahsyatnya orang bershadaqah. Intinya, bagi siapa saja yang mau
ber-shadaqah tidak seperti pada umumnya maka harta/uang yang di-shadaqah-kan
akan diganti oleh Allah SWT dengan harta/uang berlipat ganda. Bagi para
pemegang otoritas agama mereka berpedoman pada firman Allah SWT yang berbunyi:
”Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan)”. (QS.Al-An’aam 6:160).
Benarkah ayat di atas ditafsirkan demikian?
Bila kita bershadaqah (beramal) akan diganti dengan materi yang berlipat ganda?
Misal anda ber-shadaqah Rp. 100.000,- maka akan diganti (dibalas) Allah SWT
dengan rejeki sebesar Rp. 1.000.000,- (10 kali lipat)? Saya kira terlalu naif
dan berpandangan sempit bila makna ayat (beramal) di atas diukur dengan
standarisasi materi. Ayat di atas sebenarnya lebih mencerminkan bila seseorang
bershadaqah (sedekah/amal) maka akan mendapat 10 kebaikkan dari perbuatan (amal
ibadah) yang dikerjakan. Misalnya anda membantu orang fakir miskin, maka apa
yang anda lakukan dengan ikhlas akan dikenang oleh orang yang anda bantu, meskipun
anda tidak mengharapkan itu karena yang anda lakukan didasari oleh ke-ikhlas-an
dan jauh dari riya’ (melakukan sesuatu ibadah karena ingin dinilai orang).
Inilah salah satu contoh kebaikkan yang anda terima karena beramal.
Dalam Al-Qur’an pun Allah SWT dengan
tegas melarang kepada kita bahwa jangan berharap kita akan mendapatkan balasan
(pengganti yang lebih) berupa materi atas materi (shadaqah) yang kita berikan.
“dan janganlah
kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”. (QS. Al-Muddassir 74:6).
Sebagai orang yang beriman tentunya
kita harus sadar bahwa beramal (shadaqah/sedekah) harus didasari dengan
ke-ikhlas-an dan semata-mata berharap akan ridha Allah SWT, bukan didasari
dengan keinginan (nafsu) agar Allah SWT mengganti harta yang kita shadaqahkan.
Apa jadinya bila kita beramal shaleh didasari nafsu seperti ini? Dapat
dipastikan bahwa apa yang anda shadaqahkan didasari oleh ketidak-ikhlasan dan
riya’, bukan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
Semasa hidupnya, Rasulullah Muhammad
SAW pun menyontohkan tentang cara bersedekah. Beliau tidak pernah menyimpan
uang seperser pun ketika akan berangkat tidur. Bila malam itu masih ada uang
tersisa, maka beliau akan keluar rumah untuk mencari orang yang membutuhkannya
untuk men-shadaqah-kan uang tersebut. Rasulullah SAW tidak berharap apa-apa
(apalagi agar Allah SWT mengganti uang tersebut berlipat ganda). Semua didasari
oleh ke-ikhlas-an dan membantu umatnya yang kekurangan. Adapun masalah rejeki,
beliau yakin bahwa Allah SWT Maha Kaya (Ar-Razaq) dan menjamin rejeki
masing-masing manusia. Beliau tidak pernah berpikir tentang besok, karena besok
adalah ghaib (kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada diri kita, karena
ini rahasia Allah SWT).
Rejeki adalah bagian
dari takdir manusia yang telah ditetapkan Allah SWT pada saat berumur 120 hari (4
bulan) dalam rahim ibu, Allah SWT menyertakan 4 (empat) perkara (takdir) pada
janin tersebut bersamaan dengan ditiupkan ar-ruh (al-Fitrah Al-Munazalah)
ke dalam tubuh calon manusia dan takdir tidak bisa diubah, sebagaimana bunyi hadits
qudsi berikut ini.
”Sesungguhnya setiap orang diantaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam
perut ibunya 40 hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama
itu juga, kemudian menjadi gumpalan seperti potongan daging selama itu juga,
kemudian diutuslah kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan
diperintahkan atasnya (menulis) 4 perkara : Ketentuan rezekinya, ketentuan
ajalnya, amalnya dan ia celaka atau bahagia...” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dari penjelasan
sedikit di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
- Apa yang disampaikan beberapa pemegang otoritas
agama atau motivator
yang sering
kita dengar di televisi,
seminar maupun buku-buku perlu dikaji ulang
kebenarannya.
- Janganlah kita beramal ibadah (shadaqah) berharap dapat
pengganti materi
yang berlipat ganda. Ini jauh dari syariat agama. Beramal, apapun bentuknya semata-mata
untuk berharap ridha Allah SWT dan didasari ke-ikhlas-an. Bukan materi sebagai tujuan utamanya.
- Secara jelas, Allah SWT dalam Al-Qur’an pun melarang
dan menegaskan bahwa tidak mungkin kita berharap lebih dari apa yang kita
berikan.
Demikian sedikit
uraian yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat. Amin.
Marilah kita tetap ISTIQOMAH
untuk meraih ridha Allah SWT!!!
Untuk menambah wawasan
beragama anda silahkan download E-Book (Electronic Book) Pertama saya yang
berjudul : MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAHdan E-Book Kedua : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar