Antara Muhammad yang Ummi dan Muhammad yang Nabi
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Al-Qur’an
adalah pedoman, dan petunjuk bagi umat manusia untuk mengenal Tuhannya. Al-Qur’an
adalah himpunan kitab-kitab sebelumnya sekaligus kitab yang sempurna karena
Allah SWT memberikan dan menambahkan ayat-ayat terang kepada Rasulullah
Muhammad SAW. Jadi isi Al-Qur’an tidak hanya berisi tentang cara beribadah,
namun juga ada ilmu pengetahuan dan sejarah para nabi/rasul.
Ada hal yang menarik
kita bahas kali ini yang berhubungan dengan sejarah para rasul dalam
ber-makrifatullah. Kita ambil contoh saja apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim
AS, Musa AS dan Muhammad SAW.
a. Nabi Ibrahim AS
Seperti sering kita dengar dalam tausyiah
atau saat membaca Al-Qur’an bahwa perjalanan spiritual nabiyullah Ibrahim AS
untuk “mencari” Allah SWT mendapat tentangan dari berbagai pihak, baik itu dari
raja Namrud, masyarakat, maupun dari bapaknya.
Sikap Ibrahim AS yang tegas menentang penyembahan berhala mendapat
reaksi keras sehingga beliau di usir dari tanah kelahirannya.
Pengusiran inilah yang menjadi titik awal
Ibrahim AS dalam berma’rifatullah. Dalam perjalanannya yang tanpa tujuan tersebut,
justru kesadaran beliau tumbuh untuk mencari Tuhannya manusia. Ketika beliau
melihat matahari, bintang, atau bulan yang dikiranya Tuhan, namun seiring dengan
tumbuhnya kesadaran beliau maka yang terjadi kemudian adalah menafikkan semua
itu karena benda-benda langit timbul dan tenggelam sesuai dengan peredaran
waktu. Jadi sifatnya tidak kekal (QS. Al-An’aam 6:75-77)
Dalam kelelahan dan keterputus-asaan dalam
mencari Allah SWT, kemudian beliau memutuskan beristirahat (bertahanut dan
berdzikir) di atas bukit. Inilah cara jihad nabi Ibrahim AS untuk melawan hawa
nafsu (jihaddul akbar). Tidak berapa lama kemudian turunlah perintah
dari Allah SWT kepada beliau agar menghadapkan “dirinya” dengan lurus (hanif) kepada
“wajah” Allah SWT sebagaimana diabadikan
dalam Al-Qur’an.
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.(QS. Al-An’aam 6:79)
Ketika beliau berdiam diri menghadapkan
dirinya kepada Allah SWT secara hanif (lurus dan tidak syirik) dan atas
bimbingan-Nya, maka beliau baru dapat berma’rifatullah. Beliau dapat berjumpa
dengan Allah SWT, kemudian terjadilah “serah terima” antara nabi Ibrahim AS
kepada Allah SWT. Beliau berserah diri atas segala hal yang meliputi shalat,
ibadah, hidup dan mati beliau kepada Allah SWT sebagai bukti bahwa manusia
tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas rahmat dan karunia-Nya. Setelah proses serah terima ini terjadi maka Allah SWT
memberikan derajat kepada Ibrahim AS sebagai orang yang pertama (awal) muslim
dan mendapat Shuhuf (catatan) sebagai pedoman beribadah kepada-Nya.
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah/muslim)." (QS. Al-An’aam 6:162-163)
Atas
peristiwa yang fenomenal tersebut, selain diabadikan dalam Al-Qur’an, ketiga ayat
tersebut di atas juga dibaca oleh setiap umat islam setelah bertakbir ketika
mendirikan shalat lima waktu maupun shalat sunnah lainnya hingga saat ini.
b. Nabi Musa AS
Hal yang dilakukan nabi Musa AS, tidak berbeda
jauh dengan apa yang dikerjakan nabi Ibrahim AS. Ketika Musa AS berkeinginan
bertemu dengan Tuhannya untuk membuktikan bahwa Allah SWT itu Maha Ada, maka beliau bertahanut
dan berpuasa selama 30 hari di bukit Tursina atas perintah Allah SWT. Di hari
yang ke-30, Allah SWT memerintah Musa AS melihat “wujud” Tuhan di bukit
tersebut. Tetapi apa yang terjadi? Bukit itu luluh lantak tidak mampu menampung
Dzatullah dan Musa AS pingsan. Dalam kondisi pingsan ini (ar-ruh) kembali ke
Allah SWT, Musa AS menyaksikan “berjumpa” dengan Allah SWT. Tidak heran ketika
beliau siuman dari pingsannya, maka pertama-tama yang terucap dari bibir dan
hatinya adalah pengakuan iman. Atas kondisi ini Allah SWT mengangkat
derajat Musa AS menjadi orang pertama yang mukmin.
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada
waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku
dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali
tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala
Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur
luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:
"Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama-tama beriman (mukmin)."( QS. Al-A’raaf 7:143)
Kemudian Allah SWT memerintahkan beliau
untuk menambah puasa dan bertahanut selama 10 hari sehingga genap 40 hari. Pada
10 hari berpuasa inilah, setiap harinya Nabi Musa AS mendapat pengajaran dari
Allah SWT. Itu mengapa kitab Taurat disebut juga dengan Ten Commandement
(10 Perintah Tuhan) sebagai pedoman beribadah kepada Allah SWT.
c. Rasulullah Muhammad SAW
Demikian pula yang dicontohkan Rasulullah Muhammad
SAW untuk berjumpa dengan Allah SWT dengan menyempatkan diri beberapa waktu
untuk bertahanut/bertafakur di gua hira’ di setiap tahunnya. Setelah beberapa
tahun menjalaninya, barulah beliau ditakwakan Allah SWT dengan Asma-Nya
sebagaimana telah saya uraikan pada sub bab sebelumnya dan mendapat wahyu
pertama yaitu Surat Al-Alaq 96:1-5 di gua Hira. Rasulullah Muhammad SAW mendapat derajat dari Allah SWT
sebagai orang yang pertama muttaqin dan diangkat menjadi seorang nabi.
Beliaulah dikaruniai derajat
tertinggi di antara para nabi/rasul karena dapat berjumpa Allah SWT dalam
kesadarannya dengan memanfaatkan lima potensi dalam diri beliau sehingga agama
fitrah berfungsi.
Dari ketiga peristiwa di atas yang
dilakukan dan dialami oleh para nabiyullah dapat disimpulkan : Pertama,
Untuk “berjumpa” dengan Allah SWT diperlukan olah
spiritual (batiniyah) dengan bertahanut. Makna kata bertahanut pada intinya
juga tidak berbeda dengan khalwat, tafakur, wukuf dan i’tikaf yang disertai
dzikrullah. Hanya istilah bahasa dan waktunya saja yang membedakan, namun
hakikatnya sama yaitu ingin berjumpa dengan Allah SWT.
Kedua, Bahwa setiap nabi diberikan derajat yang
berbeda saat pertama kali berma’rifatullah. Nabi Ibrahim AS yang pertama diberi
derajat muslim, Nabi Musa AS yang pertama diberi derajat mukmin karena telah
melalui tahap apa yang dilakukan Ibrahim AS, sementara Rasulullah SAW yang pertama mendapat derajat
muttaqin karena telah melalui tahapan apa yang dilakukan oleh Ibrahim AS dan
Musa AS. Tentu
saja para nabi/rasul ini tetap menjalankan (istiqomah) laku tahanut (dzikrullah)
sehingga masing-masing menggapai maqam tertinggi sesuai yang dikaruniakan Allah
SWT kepada masing-masing utusan-Nya.
Ketiga, Sebelum para nabi mendapat
kitab atau shuhuf sebagai pedoman untuk beribadah kepada Allah SWT maka hati
mereka harus bersih dan suci, karena tidak mungkin hati seorang manusia mampu
memahami takwil dan mendapat pengajaran Allah SWT atas wahyu bila hatinya masih
kotor. Ketiga nabi ini terlebih
dahulu belajar iman kepada Allah SWT, selaku pemberi iman kepada manusia.
Apa yang diinformasikan Allah SWT dalam
Al-Qur’an tentang apa yang dilakukan oleh para utusannya sekaligus memberikan
hikmah kepada umat islam bahwa setiap derajat harus diperjuangkan. Di setiap
derajat ada tanda dan buktinya, bukan sebatas pengakuan diri dari lisannya
bahwa dirinya telah berislam, beriman, dan bertakwa. Jadi derajat muslim,
mukmin, muttaqin dan muhlasin harus diperjuangkan dengan
perilaku, bukan merupakan satu paket yang secara otomatis melekat ketika
hanya bersyahadat secara lisan.
“Dan masing-masing orang memperoleh
derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (QS. Al-An’aam
6:132).
Keempat,
Setiap nabi melakukan jihaddun an-nafs (jihaddun akbar) yaitu jihad
memerangi hawa nafsu sebagai proses pembersihan diri dari penyakit hati,
sehingga ar-ruh dapat berkuasa atas diri ini dan dapat menjalankan fungsinya
sebagai khalifatullah fil al-Ardi (duta di bumi). Itu mengapa sebagai
titik awal untuk menggapai derajat muslim, kemudian naik menjadi mukmin,
muttaqin dan muhlasin, baik nabi Musa AS, Rasulullah Muhammad SAW dan umat
islam harus melakukan hal sama (mencontoh) seperti apa yang dikerjakan Ibrahim
AS, yaitu bertahanut. Allah SWT dalam
Al-Qur’an pun secara jelas telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana
diabadikan dalam beberapa ayat berikut ini.
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.( QS. An-Nahl 16:123)
“Dan berjihadlah (Memerangi An-Nafs) kamu pada jalan
Allah dengan jihad sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah)
telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu
pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan
supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong” (QS. Al-Hajj 22:78)
Apa yang dilakukan para nabi di atas juga
dilakukan oleh Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali. Demikian pula dengan para waliyullah
seperti Sunan Kalijaga berkhalwat dan berpuasa di pinggir sungai atas bimbingan
Sunan Bonang, Sunan Muria bertahanut di puncak gunung Muria, Sunan Gunungjati bertafakur
di gua Datul Kahfi di Cirebon, dan lain-lain.
Pertanyaannya sekarang, pernahkah kita
meneladani perilaku para rasul, dan waliyullah belajar iman kepada Allah SWT?
Pernahkah kita pernah belajar, meneladani dan memposisikan diri menjadi
Muhammad yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis/ Maa ana bil qorii/sebelum
diangkat menjadi Nabi oleh Allah SWT) dan melakukan jihaddun an-nafs sehingga
Allah SWT berkenan mengangkat derajat Muhammad yang ummi menjadi seorang nabi (dengan
kecerdasan spiritual yang luar biasa) dan diberikan Al-Qur’an sebagaimana yang
dialami Ibrahim AS (mendapat Shuhuf) dan Musa AS (mendapat Taurat)? sehingga ke-tauhid-an mereka dalam beribadah
kepada Allah SWT tidak diragukan lagi. Pernahkah anda paham pada posisi manakah
derajat anda pada saat ini? Muslim,
mukmin, muttaqin atau muhlasin? Pernahkan anda dalam beragama benar-benar
Haqqul Yaqin (paham) bahwa Allah SWT itu ada dan amal ibadah anda telah
dibenarkan (diterima) oleh Allah SWT karena anda telah mengalami proses
sebelumnya yaitu yaqin (belajar), Ilmu Yaqin (menjalani) dan ‘ainul yaqin
(mengalami)?
Pertanyaan ini tidak mungkin saya jabarkan dalam
artikel ini yang memiliki keterbatasan tempat. Bila pembaca ingin mendapat
jawaban silahkan download E-Book (Electronic Book) saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH dan MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. Semoga bermanfaat. Amin ya Rabbal’alamiin.
Marilah kita tetap ISTIQOMAH
untuk meraih ridha Allah SWT!!!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan FC
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
cara manusia berjalalan pun tidak langsung berdiri tetapi dimulai dari merangkak. dari merangkak itulah dimulai belajar begitu pula kalo kita ingin beribadah seperti nabi harus juga mempelajari dari yang ummi. bukan yang langsung belajar saat sudah menjadi nabi..
BalasHapusbener begitu ya mas iwan.. semoga saya juga difahamkan tentang rukun iman seperti mas iwan
salam ar-Rahman ar-Rahim
Betul Mas Indarto....semua perlu tahapan dan tidak langsung jadi atau instan....diperlukan niat yang hanif disertai sabar, ikhlas, tawakal dan istiqomah...sebagai umat islam tentunya kita mengikuti atau meneladani Rasulullah Muhammad SAW...Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapus