Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Anak adalah
amanat yang diberikan Allah SWT kepada kita. Namun demikian terkadang kita
salah menafsirkan kata amanat tersebut. Selama ini yang berkembang dan dipahami
umat islam adalah apa yang dilakukan anak adalah tanggung jawab penuh dari
orang tua. Apabila sang anak berbuat baik maka orangtuanya juga akan mendapat
pahala, sebaliknya, bila anak durhaka maka orangtuanya juga akan menanggung
sebagian dosanya. Pemahaman ini diyakini karena ada sebuah hadits yang
menyatakan demikian. Benarkah hadits itu shahih adanya? Atau pernahkah kita
mencoba menelusuri riwayat (para perawinya) hadits itu memang sudah selaras
dengan ayat Al-Qur’an? Apa jadinya bila hadits bertentangan dengan Al-Qur’an?
Ibarat sebuah hukum
di suatu Negara, ambillah contoh yang lebih mudah, Indonesia. Hukum tertinggi
di negeri ini adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi bila ada
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau aturan-aturan lain yang berada di
bawahnya bertentangan, maka secara hukum akan batal. Demikian pula dengan
hadits. Rasulullah Muhammad SAW sendiri sebelum beliau wafat bersabda,
“Aku
tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan
dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah SAW”. (HR. Muslim)
Dari
sabda beliau di atas jelaslah sudah bahwa umat islam, pasca Rasulullah Muhammad
SAW wafat harus berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah beliau, sehingga tidak akan tersesat dalam menjalani
hidup ini. Selama ini umat islam sendiri memahami bahwa sunnah dan hadits
adalah sama. Benarkah demikian? Sunnah adalah perilaku Rasulullah Muhammad SAW
selama beliau hidup dan diteladani oleh para sahabatnya. Sunnah ini sendiri
adalah produk dari kepahaman Rasulullah Muhammad SAW atas ayat tersurat maupun
tersirat dari Al-Qur’an yang dwahyukan oleh Allah SWT dan diejawantahkan dalam
perilaku beliau sehari-hari, sebagaimana yang dikatakan istri beliau, Aisyah
ra, “Ketika
Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw, maka dia menjawab,
"Akhlaknya adalah Al Qur'an." (HR.
Abu Dawud dan Muslim).
Bagaimana dengan hadits? Hadits
adalah tulisan para sahabat atas apa-apa yang pernah diucapkan dan dilakukan
oleh Rasulullah SAW. Tulisan ini pun muncul hampir 100 tahun lebih setelah
Rasulullah SAW wafat. Para sahabat ini menulis hadits berdasarkan kredibilitas
para perawinya yang diriwayatkan secara turun temurun.
Jadi ada beda tipis antara sunnah
dan hadits, terutama dari segi waktu. Maka tidaklah heran bila kita tidak
hati-hati terhadap siapa periwayat (perawi) hadits, akan mudah terjebak pada
hadits yang palsu atau meragukan. Dalam perkembangannya, banyak hadits palsu
muncul, terutama saat terjadi konflik antara khalifah Ali bin Abi Thalib ra
dengan Muawiyah. Hadits-hadits ini muncul sebagai bentuk provokasi dan
intimidasi kepada sang khalifah untuk membela kepentingan kelompok mereka. Sebagian
hadits-hadits palsu juga muncul dari orang-orang munafik yang ingin mengadu
domba antar keduanya.
Jadi sebenarnya mudah saja menilai
sebuah hadits itu palsu atau tidak, yaitu apakah selaras dengan Al-Qur’an atau
bertentangan. Kalau sesuai dengan Al-Qur’an maka hadits itu pastilah shahih,
dan bila bertentangan dengan Al-Qur’an maka hadits itu palsu (otomatis gugur),
karena hadits ditulis secara redaksional oleh manusia (ada kemungkinan salah
menerima bunyi hadits itu atau sengaja dibuat salah oleh orang-orang munafik),
sementara Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang
menjaga dan memeliharanya. Jadi secara redaksional, Al-Qur’an pastilah benar.
Oleh sebab itu, janganlah kita latah
atau membalik-balik sesuatu hukum dalam beragama, artinya kita lebih
mengutamakan hadits dalam berdakwah namun melupakan Al-Qur’an (sudah benar
tidak isi hadits itu dengan Al-Qur’an). Idealnya, kita mengutip lebih dulu ayat
Al-Qur’an, baru diterangkan atau diperkuat uraiannya dengan hadits, sehingga
hadits tersebut selaras dengan bunyi Al-Qur’an.
Kembali kepada topik permasalahan,
benarkah ada dosa turunan atau orang tua menanggung dosa anaknya karena orang
tua dianggap tidak mampu menjalankan amanat Allah SWT? Tentu tidak. Hadits ini
jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an sebagaimana bunyi ayat berikut ini,
“Barangsiapa
yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu
untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka
sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS.
Al-Israa’ 17:15).
Kalau
kita melihat sejarah para nabi pun banyak pelajaran yang kita ambil. Ada anak
nabi yang durhaka kepada ayahnya, ada istri nabi yang berkhianat, dan lain
sebagainya (lihat artikel saya, Tugas Para Nabi). Itu mengapa dalam salah satu
ayat Al-Qur’an yang menceritakan tentang kedurhakaan Kan’an (anak nabi Nuh AS)
kepada ayahnya. Nabi Nuh AS yang saat itu sedih karena anaknya tidak mau masuk
islam dan tidak mau mendengar nasehatnya agar ikut ke kapal yang ditumpangi
Nabi Nuh AS saat banjir air bah datang.
“Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)-nya
perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu
memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya
Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan." (QS. Huud 11:46).
Kata “dia (Kan’an) bukanlah termasuk keluargamu” bukanlah
dimaknai secara biologis. Karena kalau dimaksud secara biologis tentu Kan’an
adalah putra dari Nabi Nuh AS. Kata “keluarga” secara tersirat lebih mencerminkan
takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT terhadap Kan’an. Setiap manusia
hakikinya telah ditetapkan takdirnya masing-masing oleh Allah SWT dan kita
manusia tidak mampu merubah ketetapan Allah SWT itu. Mendapat peringatan itu,
nabi Nuh AS pun tersadar. Dan nabi Nuh AS pun tidak menanggung dosa atas apa
yang diperbuat anaknya yang bernama Kan’an.
Jadi jelaslah sudah, bahwa dalam
islam tidak ada dosa warisan atau seseorang menanggung dosa orang lain meskipun
itu anaknya. Jadi kalau ada hadits yang mengatakan bahwa orang tua menanggung
dosa anaknya karena tidak mampu menjalankan amanat Allah SWT maka hadits itu
perlu dipertanyakan ke-shahih-annya. Adapun makna dari anak adalah amanat dari
Allah SWT adalah sebagai orang tua wajib mengarahkan anak, (misal menyekolahkan
anak, mendidik sesuai dengan ajaran islam, menjaga hingga dewasa, dll). Itulah
batas yang dimaksud dengan amanah, kita sebatas menemani dan mengarahkan,
sebagaimana tugas para nabi yaitu sebatas menyampaikan wahyu Illahi, sedangkan
datangnya petunjuk adalah hak prerogative Allah SWT.
Oleh sebab itu, ketika perilaku sang anak tidak sesuai
yang kita harapkan (sholeh/sholehah), maka kondisi ini sudah masuk dalam
wilayah takdir, dimana kehendak dan kuasa manusia tidak akan mampu mengubah
kehendak dan kuasa Allah SWT yang telah ditetapkan pada diri setiap manusia. Realita
menunjukkan, bahwa ada anak yang semasa kecil hingga dewasa/remaja durhaka,
namun dimasa tua/dewasa justru mendapat hidayah Allah SWT. Demikian pula, ada
yang semasa kecil/remaja akrab dengan ajaran agama, namun dimasa dewasa/tua
justru banyak perilakunya yang menabrak hukum-hukum agama. Adapula anak yang sejak
kecil, remaja, dewasa hingga tua tetap memegang teguh ajaran agama, tetapi
adapula yang sejak kecil hingga tua tidak mengenal ajaran agama. Inilah
“bunga-bunga” kehidupan sebagai bentuk realita takdir sehingga bumi masih
berputar hingga saat ini.
Semoga artikel ini bermanfaat, dan
insya Allah mengenai masalah takdir (iman kepada takdir), akan saya uraikan
panjang lebar dalam E-Book saya berikutnya.
Untuk
menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan
cara men-download. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
- E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW
DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna
merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
- E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini
untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
- E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk
mengetahui syarat dan ketentuannya).
Senantiasa
ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar