DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Kamis, 13 Juni 2013

MASYARAKAT MADANI (ANTARA PLURALITAS DAN PLURALISME)-3


Dari sedikit uraian sebelumnya, kalau boleh saya simpulkan bahwa Islam adalah agama yang toleran, damai dan menghormati hak-hak kemanusiaan tanpe membedakan suku, agama, ras, golongan, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Kalau pun selama ini ada stigma negatif, karena beberapa ulah “oknum” yang tidak tahu dan paham betul apa sebenarnya islam itu. Islam sangat menjunjung tinggi hubungan antar manusia (habluminannas) tanpa melihat latar belakang seseorang. Itu mengapa Allah SWT memperintahkan kepada umat islam untuk saling mengenal (la ta’arafu), bukan saling memusuhi, mendzalimi apalagi sampai bunuh membunuh tanpa alasan dan sebab musabab yang jelas. Hal ini logis mengingat antar satu manusia dengan manusia lain, antar suku dengan suku lain, antar bangsa satu dengan yang lain, ada kelebihan dan kekurangannya sehingga mereka saling mengisi dan berbagi untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama selama menjalani hidup ini. Inilah yang dinamakan ruang publik
Sedangkan masalah dengan Tuhan (habluminnallah), dalam Al-Qur’an pun telah menjelaskan, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Inilah ruang privasi seseorang, dan antar manusia harus saling menghormati, dan toleran. Rasulullah Muhammad SAW sendiri paham benar kondisi ini melalui ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya bahwa perbedaan adalah sunnatullah dan sebuah keniscayaan. Itu mengapa selaku nabi dan kepala pemerintah di Madinah, beliau memberikan kebebasan beribadah masyarakatnya yang memang majemuk, sedangkan dalam hal bernegara, beliau menuntut masyarakatnya untuk saling bekerja sama membangun Madinah dan bersatu membela Negara dalam menghadapi agresi musuh (muamalah).

Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,” (QS. Az-Zumar 39:39)

Makna kata bekerja pada ayat di atas bukanlah bekerja dalam arti tekstual (mencari nafkah) saja, namun lebih kepada makna kontekstualnya, yaitu manusia menjalani hidup ini sesuai agama takdir yang telah ditentukan pada masing-masing manusia.
Hakikatnya dalam beribadah manusia harus memurnikan agama (tauhid/fitrah) untuk menyembah kepada Allah SWT dan disertai syariat masing-masing umat nabi. Tidak ada masalah dengan perbedaan syariat, karena sudah jelas keterangannya, bahwa Tuhannya manusia dan seluruh alam semesta adalah Allah SWT.  Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan manusia untuk memurnikan beribadah kepada-Nya (agama tauhid/fitrah) dan tiap-tiap umat diperintahkan untuk berlomba dalam kebaikan, bukan saling menyalahkan dan berbantah-bantahan tentang perbedaan syariat yang ada dalam menyembah Allah SWT sebagai bentuk sunnatullah.

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus”. (QS. Al-Hajj 22 : 67).

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah 2 : 148)

            Dari penjelasan di atas, kalau boleh saya analog-kan dengan sebuah mobil, maka agama tauhid (fitrah) adalah perangkat yang ada dalam setiap mobil pada umumnya (setiap mobil pasti ada) seperti mesin, radiator, karborator, gas, rem, kopling, dan lain sebagainya. Mobil akan berjalan bila perangkat ini saling mendukung menjadi satu kesatuan sistem. Demikian pula perangkat yang telah disediakan Allah SWT kepada setiap manusia sama, yaitu otak (IQ), qalbu atau hati (EQ/bukan dalam arti fisik), jiwa/an-nafs, akal dan ar-ruh (SQ). Perangkat ini akan berfungsi untuk memurnikan ibadah kepada Tuhan ketika secara bersamaan menjadi satu kesatuan sistem sehingga ar-ruh berkuasa atas tubuh ini dalam perilaku sehari-hari maupun saat beribadah.
Sedangkan agama formal (syariat/tata cara beribadah) yang dibawa masing-masing nabi dapat dianalogkan sebagai buku petunjuk untuk menjalankan dan merawat mobil. Antara jenis (merk) satu mobil dengan mobil yang lain tentunya memiliki buku petunjuk yang berbeda-beda berdasarkan pabrik yang memproduksinya.
Inilah makna sebenarnya dari pluralisme, yaitu dari sisi dalam setiap diri manusia, Allah SWT mengkaruniakan 5 (lima) perangkat yang sama dan barangsiapa memurnikan ibadah kepada Allah SWT (ditandai berfungsi ar-ruh/mi’raj) maka ibadahnya akan diterima meskipun secara syariat masing-masing manusia membawa takdirnya (perbedaan cara menyembah) Allah SWT. 
Allah SWT mendesain manusia tidak hanya berbeda dalam tata cara beribadah, bahkan secara sunnatullah pun Allah SWT telah membedakan dari ciri fisik (komunitas) dalam berbagai suku, bangsa, kulit dan bahasa. Manusia boleh beda dari ciri-ciri fisik, namun sejatinya dari sisi organ tubuh dalam manusia sama yang terdiri dari jantung, ginjal, paru-paru, lambung, dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan pluralitas.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Hujurat 49:13).

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (QS. Ar-Rum 30:22)

            Jadi pemahaman pluralitas dan pluralisme sangatlah berbeda. Pluralitas lebih condong kepada perbedaan dari segi fisik (lahiriah) dalam bentuk komunitas yang lebih luas yaitu suku atau bangsa, namun hakikinya mereka tersusun dari organ tubuh bagian dalam yang sama. Sedangkan pluralisme lebih berhubungan dengan tata cara menyembah (syariat) yang berbeda antara satu umat nabi satu dengan lainnya, namun memiliki kesamaan bahwa barangsiapa mampu mengfungsikan ar-ruh (memurnikan ibadah) maka ibadahnya akan hanif (lurus) kepada Allah SWT, karena berfungsinya islam sebagai agama fitrah. Kata “isme” sendiri menunjukkan “aliran” (tata cara) dalam beribadah kepada Tuhan.
            Kalau mau jujur sebenarnya kondisi dan situasi di Madinah saat itu adalah prototype atau merepresentasikan kondisi di Indonesia yang terdiri dari berbagai keyakinan, bahasa, suku, budaya, ras dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Allah SWT yang telah mengilhamkan kepada para founding father negara ini dengan menerjemahkan kondisi Indonesia, yang diwadahi dengan Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
            Apa yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book saya. Oleh karena itu, agar tidak salah persepsi atas artikel tersebut di atas, saya hanya sekedar menawarkan kepada para sidang pembaca, apabila anda berminat mengetahui lebih jauh silahkan download E-Book pertama saya yang berjudul    MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH  (silahkan klik tulisan berwarna biru untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download). Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book kedua saya yang berjudul                                 MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna biru untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download). Silahkan baca cara, syarat dan ketentuannya. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat.

Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar