Dari sedikit uraian sebelumnya, kalau boleh
saya simpulkan bahwa Islam adalah agama yang toleran, damai dan menghormati hak-hak
kemanusiaan tanpe membedakan suku, agama, ras, golongan, sosial, budaya, dan
lain sebagainya. Kalau pun selama ini ada stigma negatif, karena beberapa ulah
“oknum” yang tidak tahu dan paham betul apa sebenarnya islam itu. Islam sangat
menjunjung tinggi hubungan antar manusia (habluminannas)
tanpa melihat latar belakang seseorang. Itu mengapa Allah SWT memperintahkan
kepada umat islam untuk saling mengenal (la
ta’arafu), bukan saling memusuhi, mendzalimi apalagi sampai bunuh membunuh
tanpa alasan dan sebab musabab yang jelas. Hal ini logis mengingat antar satu
manusia dengan manusia lain, antar suku dengan suku lain, antar bangsa satu
dengan yang lain, ada kelebihan dan kekurangannya sehingga mereka saling
mengisi dan berbagi untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama selama menjalani
hidup ini. Inilah yang dinamakan ruang publik
Sedangkan masalah dengan
Tuhan (habluminnallah), dalam
Al-Qur’an pun telah menjelaskan, “Bagimu
agamamu, bagiku agamaku”. Inilah ruang privasi seseorang, dan antar manusia
harus saling menghormati, dan toleran. Rasulullah Muhammad SAW sendiri paham
benar kondisi ini melalui ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya bahwa
perbedaan adalah sunnatullah dan sebuah keniscayaan. Itu mengapa selaku nabi
dan kepala pemerintah di Madinah, beliau memberikan kebebasan beribadah
masyarakatnya yang memang majemuk, sedangkan dalam hal bernegara, beliau
menuntut masyarakatnya untuk saling bekerja sama membangun Madinah dan bersatu
membela Negara dalam menghadapi agresi musuh (muamalah).
“Katakanlah:
“Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku
akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,” (QS. Az-Zumar 39:39)
Makna kata bekerja
pada ayat di atas bukanlah bekerja dalam arti tekstual (mencari nafkah) saja, namun lebih kepada makna kontekstualnya, yaitu manusia
menjalani hidup ini sesuai agama takdir yang telah ditentukan pada
masing-masing manusia.
Hakikatnya dalam
beribadah manusia harus memurnikan agama (tauhid/fitrah) untuk menyembah kepada
Allah SWT dan disertai syariat masing-masing umat nabi. Tidak ada masalah
dengan perbedaan syariat, karena sudah jelas keterangannya, bahwa Tuhannya
manusia dan seluruh alam semesta adalah Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan
manusia untuk memurnikan beribadah kepada-Nya (agama tauhid/fitrah) dan
tiap-tiap umat diperintahkan untuk berlomba dalam kebaikan, bukan saling
menyalahkan dan berbantah-bantahan tentang perbedaan syariat yang ada dalam
menyembah Allah SWT sebagai bentuk sunnatullah.
“Bagi tiap-tiap
umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah
sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada
(agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang
lurus”. (QS. Al-Hajj 22 : 67).
“Dan bagi
tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah 2 : 148)
Dari penjelasan di atas, kalau boleh saya
analog-kan dengan sebuah
mobil, maka agama
tauhid (fitrah) adalah perangkat yang ada dalam setiap mobil pada umumnya
(setiap mobil pasti ada) seperti mesin, radiator, karborator, gas, rem,
kopling, dan lain sebagainya. Mobil akan berjalan bila perangkat ini saling
mendukung menjadi satu kesatuan sistem. Demikian pula perangkat yang telah
disediakan Allah SWT kepada setiap manusia sama, yaitu otak (IQ), qalbu atau
hati (EQ/bukan dalam arti fisik), jiwa/an-nafs, akal dan ar-ruh (SQ). Perangkat
ini akan berfungsi untuk memurnikan ibadah kepada Tuhan ketika secara bersamaan
menjadi satu kesatuan sistem sehingga ar-ruh berkuasa atas tubuh ini dalam
perilaku sehari-hari maupun saat beribadah.
Sedangkan agama
formal (syariat/tata cara beribadah) yang dibawa masing-masing nabi dapat
dianalogkan sebagai buku petunjuk untuk
menjalankan dan merawat mobil. Antara jenis (merk) satu mobil dengan mobil yang
lain tentunya memiliki buku petunjuk yang berbeda-beda berdasarkan pabrik yang
memproduksinya.
Inilah makna
sebenarnya dari pluralisme, yaitu dari sisi dalam setiap diri manusia, Allah SWT
mengkaruniakan 5 (lima) perangkat yang sama dan barangsiapa memurnikan ibadah
kepada Allah SWT (ditandai berfungsi ar-ruh/mi’raj) maka ibadahnya akan
diterima meskipun secara syariat masing-masing manusia membawa takdirnya
(perbedaan cara menyembah) Allah SWT.
Allah SWT mendesain
manusia tidak hanya berbeda dalam tata cara beribadah, bahkan secara
sunnatullah pun Allah SWT telah membedakan dari ciri fisik (komunitas) dalam
berbagai suku, bangsa, kulit dan bahasa. Manusia boleh beda dari ciri-ciri
fisik, namun sejatinya dari sisi organ tubuh dalam manusia sama yang terdiri
dari jantung, ginjal, paru-paru, lambung, dan lain sebagainya. Inilah yang
dinamakan pluralitas.
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Hujurat 49:13).
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mengetahui”. (QS. Ar-Rum 30:22)
Jadi pemahaman pluralitas dan
pluralisme sangatlah berbeda. Pluralitas lebih condong kepada perbedaan dari segi fisik
(lahiriah) dalam bentuk komunitas yang lebih luas yaitu suku atau bangsa, namun
hakikinya mereka tersusun dari organ tubuh bagian dalam yang sama. Sedangkan pluralisme lebih
berhubungan dengan tata cara menyembah (syariat) yang berbeda antara satu umat
nabi satu dengan lainnya, namun memiliki kesamaan bahwa barangsiapa mampu
mengfungsikan ar-ruh (memurnikan ibadah) maka ibadahnya akan hanif (lurus)
kepada Allah SWT, karena berfungsinya islam sebagai agama fitrah. Kata “isme”
sendiri menunjukkan “aliran” (tata cara) dalam beribadah kepada Tuhan.
Kalau
mau jujur sebenarnya kondisi dan situasi di Madinah saat itu adalah prototype atau
merepresentasikan kondisi di Indonesia yang terdiri dari berbagai keyakinan,
bahasa, suku, budaya, ras dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur
kepada Allah SWT yang telah mengilhamkan kepada para founding father negara ini dengan menerjemahkan kondisi Indonesia,
yang diwadahi dengan Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Apa
yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book saya. Oleh karena
itu, agar tidak salah persepsi atas artikel tersebut di atas, saya hanya sekedar menawarkan kepada para sidang pembaca,
apabila anda berminat mengetahui lebih jauh silahkan download E-Book pertama
saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH (silahkan klik tulisan berwarna biru untuk mengetahui
tata cara dan ketentuan men-download). Bagi sidang pembaca yang ingin menambah
wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book kedua saya yang
berjudul
MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna biru untuk mengetahui tata cara dan
ketentuan men-download). Silahkan baca cara, syarat dan ketentuannya. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat.
Marilah kita tetap ISTIQOMAH
untuk meraih ridha Allah SWT!!!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar