DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Senin, 14 Maret 2011

Dakwah Yang Mencerahkan



MENGAPA TAK MENCERAHKAN?
(Prolog)

Harga Buku : Rp. 30.000,-
Penulis : Iwan Fahri Cahyadi
Halaman : 162 lembar
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Tersedia di toko-toko buku besar (Gramedia, Gunung Agung, Dll)

Hampir sebagian besar kita meyakini bahwa dakwah adalah upaya membuka dan memperdalam cakrawala ilmu pengetahuan tentang agama. Dakwah juga dapat diartikan sebagai langkah untuk mencerahkan umat. Jadi fungsi dari dakwah ialah sebagai ujung tombak dalam upaya syiar agama.

Berhasil tidaknya pembinaan dan pencerahan terhadap umat tergantung dari bagaimana kemampuan, cara penyampaian, pemahaman dan penguasaan materi dakwah yang disampaikan. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa betapa vitalnya peran dari juru dakwah untuk mengawal umat agar tetap berjalan di atas rel ke-tauhid-an. Karena bagaimanapun juga posisi pendakwah berada di garda depan atau ujung tombak bagi syiar agama. Targetnya? minimal mampu mempertahankan umat sehingga tidak luntur keimanannya. Syukur-syukur mampu menarik perhatian umat lain untuk memeluk agama yang disyiarkan.

Kehadiran para juru dakwah ditengah umat tidak hanya sebagai panutan, namun lebih jauh daripada itu yaitu mampu memberikan pencerahan (enlighment) atas berbagai persoalan dalam beragama yang dihadapi dan dialami oleh umatnya. Wajib hukumnya bagi mereka dalam menguasai ilmu agama secara holistik tentang berbagai hal persoalan agama, terutama pemahaman atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Dua buah “pusaka” yang dipesankan dan diwariskan oleh Nabi SAW (sebelum Beliau wafat) kepada umatnya agar selalu berpegang kepada dua perkara tersebut sebagai rujukan untuk menyelesaikan berbagai masalah umat dalam beragama. Hal ini tidak terlepas dari berbagai macam variabel masalah yang muncul karena semakin kompleknya masalah disebabkan faktor perkembangan dan dinamika jaman.

***
Melihat besarnya animo dan antusiasme umat islam di Indonesia untuk mempelajari dan memperdalam kajian agama islam pada akhir-akhir ini sungguh sangat menggembirakan. Hal ini bisa kita lihat dengan tersedianya ruang untuk berdakwah yang ditayangkan di beberapa media elektronik (televisi) setiap harinya (biasanya pagi hari setelah subuh). Bagi pendakwah, ini adalah peluang, karena kesempatan tidak datang dua kali. Seorang juru dakwah harus jeli melihat kondisi ini. Adanya minat, semangat dan keinginan umat memperdalam kajian agama, akan mempermudah untuk mengembangkan syiar. Seperti hukum fisika, adanya aksi reaksi.

Bahkan antusiasme umat dan media dakwah mencapai rating tinggi pada saat bulan ramadhan datang. Hampir seluruh stasiun televisi menyuguhkan dan memberi porsi tinggi untuk acara keagamaan, baik pada pagi maupun sore hari, terutama saat menjelang sahur dan berbuka puasa. Kemasannya pun bermacam-macam, mulai dalam bentuk tausyiah, tanya jawab, dzikir bersama, tafsir Al-Qur’an, sinetron religi maupun pengobatan yang dibungkus dengan bandrol agama. Bahkan iklan-iklan yang ditayangkan pun dikemas dan dibuat secara khusus agar bersentuhan dengan dimensi nilai-nilai keagamaan. Meskipun sifatnya temporer. Ini semua sah-sah saja.

Upaya melakukan syiar islam juga ditempuh melalui berbagai cara, misalnya, kajian-kajian dan temuan-temuan yang sifatnya mempermudah, seperti cara penguasaan membaca Al-Qur’an dengan cepat dan lancar, penulisan buku-buku, majalah maupun menerjemahkan tulisan hasil karya para ulama jaman dahulu yang di-translate dalam bentuk bahasa Indonesia, sehingga mudah dipahami.

Ruang dakwah tidak hanya tersedia pada media cetak dan elektronik. Bahkan untuk menampung dan mewadahi antusiasme masyarakat maka beberapa trainner mencoba menawarkan media dakwah dengan memberikan pencerahan dan pendalaman agama melalui metode pelatihan-pelatihan khusus dengan materi yang khusus pula. Ibarat seorang master, para trainner umumnya menguasai secara mendalam materi yang akan disajikan secara khusus tersebut. Pelatihan ini semata-mata untuk memperdalam kajian suatu materi sekaligus melakukan praktek, mengingat media elektronik dan cetak dirasa kurang cukup mengurai dan mampu menampung pembahasan secara lebih mendalam dan mendetail tentang materi yang akan disampaikan mengingat terbatasnya waktu dan ruang.

Di samping berbagai cara di atas, banyak juga dakwah yang belum sempat terekspos. Umumnya dakwah ini bergerak dalam skala lokal dan lebih sempit yang sifatnya rutin maupun sesaat, seperti memberikan tausyiah di masjid/mushola yang biasanya diwadahi kelompok-kelompok pengajian, pada saat acara keagamaan, atau pesantren kilat yang diadakan pada saat bulan ramadhan yang sifatnya temporer.

Yang justru menjadi pokok persoalan sekarang dan sekaligus menjadi bahan pertanyaan adalah mengapa berbagai upaya, cara dan metode dakwah diatas seolah-olah tidak terjadi relevansi dan signifikansi antara frekuensi dakwah yang disampaikan dengan perubahan perilaku masyarakat/umat di Indonesia. Kalaupun ada sifatnya sementara, tidak istiqomah (konsisnten dan kontinyu). Hal ini menjadi pertanyaan besar. Karena dalam realitanya banyak masyarakat kita yang masih asyik dan akrab melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji atau suka berbuat keji dan mungkar.

Sebagai contoh, berdasarkan hasil riset lembaga The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia, disusul Thailand, sebagai negara terkorup di Asia. Riset tersebut dilakukan pada Maret 2009 terhadap 1.700 responden pelaku bisnis di 14 negara Asia, ditambah Australia dan Amerika Serikat. Sungguh sangat ironis, Indonesia yang penduduknya mengaku beragama namun pada kenyataannya memiliki reputasi yang kurang baik di mata dunia.
Belum lagi kasus-kasus lain seperti meningkat kriminalitas dengan modus operandi yang konvensional maupun canggih, problem lingkungan (pencemaran, penebangan liar hutan, penjarahan binatang langka, dll), kenakalan remaja, dan banyaknya masyarakat yang sudah kehilangan akal sehat (stres, depresi, dan kehilangan kepercayaan diri) karena menghadapi masalah yang sebetulnya tidak rumit dan pasti ada solusinya bila mau sedikit bersabar. Ini terlihat dari maraknya kasus bunuh diri akhir-akhir ini sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Gejala apa ini semua? Padahal tujuan dan fungsi agama adalah sebagai solusi dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Apakah kondisi ini disebabkan karena antusiasme umat untuk memperdalam kajian agama hanya bersifat euforia (ikut meramaikan), temporer, hanya sebagai trend yang sifatnya sementara atau agama hanya dipandang hanya sebatas ilmu pengetahuan (teoritis) saja dan ilmu agama hanya berhak disimpan rapi di dalam otak manusia tanpa mau mengaplikasikannya? Ataukah umat mengalami degradasi keyakinan, sehingga sudah tidak percaya lagi dengan Tuhan? Kalau hal ini semua yang terjadi, tentunya sangat disayangkan dan sungguh memprihatinkan. Karena inti dari agama adalah aplikasi ilmu pengetahuan yang diejawantahkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Bisa jadi asumsi yang saya kemukakan diatas salah, karena hanya dipandang dari salah satu sisi umat saja yang di-kambinghitam-kan, tentu hal ini tidak fair. Boleh jadi justru kesalahan terjadi pada cara syiar yang disampaikan oleh para juru dakwah yang selama ini mungkin kurang tepat dalam meramu perangkat cara syiar sehingga ujung-ujungnya justru tidak membawa pencerahan umat seperti yang diharapkan selama ini.

Seandainya kedua asumsi diatas~katakanlah~salah, lalu mengapa fungsi dakwah seolah-olah mandul? Mengapa Nurullah (cahaya dari Allah) tidak menyinari umat islam? Ataukah karena metode dakwah selama ini banyak yang tidak mengikuti petunjuk Allah, nabi/rasul-Nya dan isi Al-Qur’an sehingga tidak membawa rahmat, berkah dan hidayah bagi umat?

Lalu benarkah posisi pendakwah dipandang sebagai subyek sementara umat hanya sebagai obyek? Betulkah pendakwah adalah pihak yang berhak mencerahkan dan umat adalah pihak yang dicerahkan?

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar