DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Kamis, 25 Juli 2013

E-BOOK KETIGA : MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU


SINOPSIS DAN CARA MEN-DOWNLOAD E-BOOK (Electronic Book)

Assalamu’alaikum warahmmatullahi wabarakaatuh

SINOPSIS
            Seringkali timbul pertanyaan dalam benak kita mengapa Allah SWT memerintahkan umat islam mendirikan shalat fardhu lima kali sehari semalam dengan jumlah rakaat yang berbeda dan ada pula yang sama. Namun ketika pertanyaan itu kita ajukan kepada para pemuka atau tokoh agama, maka jawaban yang kita diterima terkadang tidak memuaskan, seperti, “Itu ketentuan Allah SWT, tidak usaha dipertanyakan, sebagai umat islam kita tinggal menjalani saja!” ataupun jawaban-jawaban lain yang senada.
Memang ada sebagian kalangan yang mencoba menghubungkan antara nama ISLAM identik dengan nama depan shalat fardhu (5) lima waktu sehari semalam meskipun terasa sedikit dipaksakan, seperti (I)-sya’, (S)-ubuh, (L)-luhur/dzuhur, (A)-shar dan (M)-aghrib. Tetapi benarkah demikian dangkalnya dalam memaknai rahasia dibalik jumlah rakaat shalat fardhu tersebut? Adakah larangan bagi umat islam dengan untuk mencari tahu, dan menanyakan langsung kepada yang memberi perintah yaitu Allah SWT mengenai rahasia ini? Tentu tidak.
            Hal senada juga terjadi ketika umat islam ingin mengetahui dan memahami  tentang ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al-Qur’an seperti Alif Laam Miin (QS. Al-Baqarah 2:1), Alif Laam Mim Shaad (QS. Al-‘Araaf 7:1), Alif Laam Raa (QS. Yunus 10:1), Nun (QS. Al-Qalam 68:1), dan lain sebagainya. Selama ini umat islam hanya berpendapat bahwa arti dan makna ayat-ayat tersebut hanya Allah SWT yang tahu. Memang pendapat ini benar adanya, namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa kita tidak mau bertanya langsung kepada sang pemilik wahyu yaitu Allah SWT untuk dipahamkan arti dan makna ayat-ayat tersebut? Sebab tidak mungkin ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan kepada manusia bila ayat-ayat tersebut tidak memiliki arti,  makna, sebagai petunjuk dan peringatan bagi umat islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Salahkah manusia ingin mengetahui dan mempertanyakan apa-apa yang tidak ketahuinya kepada Allah SWT tentang rahasia dibalik perintah rakaat shalat fardhu tersebut? Apa sebenarnya misteri tersembunyi (takwil) dibalik jumlah rakaat shalat fardhu?
            E-Book “Menyibak Tabir (Takwil) Rakaat Shalat Fardhu” yang berada di tangan pembaca ini tidak seperti buku shalat lainnya, yang secara umum membahas ibadah shalat dari sisi syariat (tata cara dan syarat sahnya), namun tinjauannya lebih dalam dan dari sudut pandang yang berbeda yaitu menyibak misteri jumlah rakaat shalat fardhu berdasarkan takwil dan ilmu pengetahuan-Nya yang ternyata berkenaan dengan perjalanan hidup manusia. Rahasia perjalanan sang khalifah fil al ardhi ini ternyata terungkap dibalik takwil jumlah rakaat shalat fardhu, mulai dari bahan baku apa manusia diciptakan, bagaimana manusia tercipta, alam kehidupan apa saja yang harus dilalui, tujuan dan target hidup yang harus dipenuhi di dunia ini sehingga meraih rahmat, ridha dan surga Allah SWT. Pemahaman rahasia rakaat shalat fardhu ini berasal dari pengajaran (takwil beserta ilmu pengetahuan-Nya) dari Allah SWT. Mengenai apa yang diajarkan ternyata sesuai dengan isi kandungan Al-Qur’an, hadist dan ilmu pengetahuan (dalil Naqli dan dalil Aqli).
            Saya berharap isi E-Book ini dapat menambah wawasan para pembaca. Semoga Allah SWT senantiasa berkenan melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal’lamiin.

Adapun isi E-Book ini meliputi (228 Halaman):
Misteri Pengajaran Allah SWT kepada para Abdi-Nya (Mukadimah
BAB I : Perintah Mendirikan Shalat Fardhu
BAB II : Menyibak Takwil Rakaat Shalat Fardhu
BAB III : Penutup
Daftar Pustaka
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

            Lalu bagaimana cara men-download E-Book ini?
1.      Pastikan bahwa PC/Laptop/Notebook/Ipad, (milik pribadi atau di Warnet) anda ada program ADOBE READER dan WINRAR (biasanya program ini telah tersedia, namun tidak ada salahnya anda mengecek terlebih dahulu untuk memastikannya. Jika anda tetap men-download E-Book ini namun tidak ada kedua program tersebut sehingga anda tidak dapat membuka dan membacanya, maka kondisi ini di luar tanggung jawab saya). Melalui program ini anda dapat membuka dan membaca E-Book tersebut. Selain itu anda juga dapat mencopy dan mencetak.

2.      E-Book MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU ini ada PASSWORD-nya sehingga anda tidak dapat membuka tanpa ada pemberitahuan PASSWORD dari saya. Anda hanya bisa men-download saja namun tidak dapat membuka dan membacanya sehingga akan sia-sia.

3.      Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada anda. Untuk mendapatkan PASSWORD tersebut silahkan anda menstransfer uang donasi.  Uang donasi ini sebagian saya sisihkan dan digunakan untuk kepentingan umat yaitu memberi bantuan saudara-saudara kita yang tengah tertimpa musibah, menyantuni anak yatim piatu dan fakir miskin, pembangunan TPQ-PAUD, serta kegiatan sosial keagamaan lainnya.

4.      Anda dapat men-transfer via internet banking atau jika anda menyetor ke bank melalui slip setoran, maka jangan lupa cantumkan nama anda, jumlah donasi dan isi keterangan untuk pembelian E-Book ini, hal ini untuk mempermudah pengecekan saya di rekening mengenai sudah masuk atau belumnya uang donasi  tersebut. Adapun besarnya uang donasi sebesar Rp. 50.000,- (Lima Puluh Ribu Rupiah) dan saya pun sangat berterima kasih bila anda berkenan memberikan donasi lebih, karena sebagian donasi untuk kegiatan sosial keagamaan.

Uang donasi dapat ditransfer ke :

- Bank BCA, KCP Kedungmundu, Semarang
- No. Rekening    : 8915006104
- Atas Nama         : Iwan Fahri Cahyadi
     
ATAU

- Bank BNI, KC UNDIP, Semarang
- No. Rekening      0096371734
- Atas Nama          : Iwan Fahri Cahyadi

5.      Setelah anda men-transfer uang donasi tersebut, silahkan anda SMS ke nomer HP : 0858-7651-6899 disertai nama anda,  besarnya uang donasi, nama bank tempat anda mentransfer dan Judul E-Book yang dibeli. Setelah saya cek dan dipastikan donasi sudah masuk, maka saya segera akan mengirim PASSWORD ke Handphone anda. Saya juga mohon dengan rendah hati agar PASSWORD tersebut jangan disebar-luaskan kepada mereka yang tidak berhak, mengingat dana donasi ini sebagian saya sisihkan untuk kegiatan sosial keagamaan.

6.      Dilarang memperbanyak, memperjual-belikan dan mengutip isi buku ini tanpa seijin saya, karena ini melanggar HAK CIPTA dan melanggar UNDANG-UNDANG.

Demikian saya sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmmatullahi wabarakaatuh

Iwan Fahri Cahyadi

SILAHKAN DOWNLOAD E-BOOK DI BAWAH INI

Selasa, 16 Juli 2013

REPACKAGE : MERAIH "PIALA" RAMADHAN (3-Selesai)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Lailatul Qadar

Suatu ketika Rasulullah SAW dihadapan para sahabatnya menceritakan tentang seorang pemuda Bani Israil yang bernama Sam’un yang memiliki kekuatan fisik dan mampu beribadah sehari semalan selama 1.000 tahun (80 tahun). Pada waktu siang hari Sam’un berjihad dan malamnya beribadah, tak mengenal lelah. Kondisi inilah yang menjadikan para sahabat berdecak kagum dan “cemburu” dengan keutamaan ibadah yang mampu dijalani oleh Sam’un.

Melihat kondisi ini dan atas kemurahan Allah SWT, maka diutuslah malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu mengenai Lailatul Qadar (QS. Surat Al-Qadr 97: 1-5). Pada ayat tersebut, Allah SWT menghibur umat islam, bahwa dalam bulan Ramadhan ada satu malam yang tingkat ibadahnya sama dengan 1.000 bulan (Lailatul Qadar).

Banyak literatur islam yang mengatakan bahwa malam Lailatul Qadar akan turun pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ada juga yang mensinyalir malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhan, bahkan ada mengerucutkan pada malam 27 Ramadhan. Bahkan ada literatur yang menyebutkan ciri-ciri turunnya Lailatul Qadar seperti siang hari tidak panas dan mendung, langit bersih dari awan, angin bertiup sepoi-sepoi dan masih banyak lagi. Apakah ini benar? Wallahualam bi Shawab.

Adapun sikap kita sebagai orang beriman hendaklah jangan sampai membeda-bedakan kemuliaan hari satu dengan hari lainnya di bulan suci Ramadhan. Tetaplah berniat, beribadah dan berfokus hanya semata-mata karena Allah SWT. Dengan niat yang ikhlas, cinta dan berpasrah diri kepada Allah SWT, Insya Allah, dengan kemurahan-Nya kita akan mendapatkan Lailatul Qadar. Jadi Lailatul Qadar adalah “bonus” dari Allah SWT karena semata-mata niat hamba-Nya yang benar dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT.

Namun sebagai gambaran, seperti yang ditulis oleh Sayyid Qutub dalam salah satu kitabnya yaitu Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, bahwa  malam Lailatul Qadar bermandikan cahaya Allah, cahaya malaikat dan cahaya ruh hingga terbit fajar. Inilah yang saya kemukakan sebelumnya bahwa umat islam hendaknya melibatkan dimensi fisik dan ruhani. Kenapa? Karena tanda Lailatul Qadar diturunkan dalam bentuk dimensi cahaya (non materi) dan hanya ruhani-lah yang mampu menyaksikan, karena hakekatnya ruhani juga berdimensi non materi.

Selain surat Al-Qadr 97 : 1-5 yang menerangkan peristiwa Lailatul Qadar, di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menerangkan secara tersirat ciri-ciri hamba-Nya yang mendapat Lailatul Qadar, yaitu:

“...Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki...,” (QS. An-Nur 24 : 35).

Cahaya itu berarti putih, bersih dan cemerlang. Kondisi ini dapat tidak hanya bisa dilihat oleh mata batin saja, tetapi dengan mata telanjang (panca indera). Ini pertanda bahwa Allah SWT menurunkan rahmat, berkah dan ampunan atas dosa-dosa hamba-Nya. Maka Ramadhan identik dengan bulan suci yang penuh rahmat, berkah dan ampunan.
 
Demikian sekilas uraian saya, semoga dengan sisa waktu pada bulan Ramadhan 1434 H ini, Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, berkah dan maghfirah-Nya kepada umat islam dan menerima amal ibadah kita semua. Amin. (3)

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridho Allah SWT!!!

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul : MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH, (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Iwan Fahri Cahyadi,
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Senin, 15 Juli 2013

MERAIH “PIALA” RAMADHAN (2)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Nuzulul Qur’an

Sebelum memasuki uraian pembahasan apa itu Nuzulul Qur’an, mari kita simak ayat Al-Qur’an berikut ini :

“(Beberapa hari yang telah ditentukan itu) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...,(QS. Al-Baqarah 2 : 185).

Setiap tanggal 17 Ramadhan, umat islam memperingati peristiwa Nuzulul Qur’an sebagai bentuk penghormatan atas firman Allah SWT yang diturunkan (diwahyukan) pertama kali pada paruh kedua bulan Ramadhan, 14 abad yang lalu, melalui Rasulullah SAW saat berkhalwat di Gua Hira. Sebuah peringatan yang sebenarnya memiliki arti yang sangat dalam, salah satunya yaitu sebagai bahan intropeksi diri bagi umat islam dalam men-tadabbur-i (merenungkannya) kalam Illahi. Tetapi sungguh disayangkan, banyak dari kalangan umat islam sendiri tidak mau mengambil momentum ini sekaligus menggali lebih jauh makna (hakikat) dari peringatan Nuzulul Qur’an.

Banyak dari umat islam sendiri yang menganggap bahwa peristiwa ini hanya sebatas seremonial saja. Sungguh disayangkan. Padahal tidaklah demikian. Banyak sekali hikmah yang terkandung di dalamnya, seperti mengapa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan? Apa hubungan Al-Qur’an dengan angka 17? Ternyata dibalik peristiwa ini semua berkaitan erat dengan jumlah rakaat shalat fardhu yang ditunaikan dalam sehari semalam. Shalat Isya’ terdiri dari 4 rakaat, Subuh 2 rakaat, Dhuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat dan Maghrib 3 rakaat, sehingga kalau dijumlah secara keseluruhan sebanyak 17 rakaat.

Peringatan Nuzulul Qur’an sebenarnya juga memiliki makna untuk mengingatkan kembali perilaku (sikap) umat islam dalam “membumikan” Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an bukan saja firman Illahi dan mu’jizat yang diberikan kepada Rasulullah SAW, tetapi esensinya adalah pedoman hidup umat islam sampai hari kiamat, karena Al-Qur’an tidak akan pernah usang sampai akhir zaman. Pemahaman ayat-ayatnya selalu memiliki makna yang up to date sesuai perkembangan jaman. Tanpa berpedoman dengan Al-Qur’an maka dapat dipastikan perilaku kita sehari-hari akan jauh dari kebenaran.

Memang kalau melihat perkembangan akhir-akhir ini dan minat mempelajari kitab suci ini cukup menggembirakan, seperti banyak didirikan TPQ, metode atau cara belajar membaca Al-Qur’an dengan waktu singkat atau Al-Qur’an dikemas dalam bentuk media elektronik agar mudah dipelajari, dan yang tak kalah pentingnya adalah masih diadakannya lomba MTQ secara periodik. Namun ini belumlah cukup karena Al-Qur’an tidak hanya dipelajari dan dibaca. Justru yang terpenting adalah memahami maknanya dan mengaplikasikan dalam perilaku (ahlak) kehidupan sehari-hari. Sehingga umat islam betul-betul menjadi umat yang rahmatan lil ‘alamin.

Yang lebih memprihatinkan lagi banyak kalangan dari umat islam sendiri jarang menyentuh Al-Qur’an, apalagi membuka, membaca dan mempelajari isinya. Kitab suci ini hanya sebagai penghias lemari buku saja dan sebagai penunjuk identitas agama yang dianutnya. Hal ini disebabkan umat islam kurang harmoni dalam me-manage waktu antara kebutuhan dunia dan akhirat. Bahkan saat ini banyak yang tenggelam dalam aktivitas duniawi. Maka tidak mengherankan bila dewasa ini banyak terjadi dekadensi moral, terutama di kalangan kawula muda.

Sedikit uraian diatas sebenarnya syarat bila umat islam ingin meraih  Nuzulul Qur’an, yaitu menjaga ke-ajeg-an shalat fardhu (diisyaratkan dengan tanggal 17 Ramadhan) serta bersedia mengaplikasikan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Insya Allah, bagi yang mampu menjalankannya akan mendapatkan karunia Nuzulul Qur’an berupa pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, sesuai dengan firman Allah SWT berikut ini,

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Fatir 35 : 32).

“Dialah yang mengajarkan Al-Qur’an.”(QS. Ar-Rahman 55 : 2).

Cara Allah SWT mengajarkan pemahaman Al-Qur’an memang terkadang unik. Dimana uniknya? Kadang pemahaman langsung diturunkan ke hati/dada hamba-Nya, kadang anda diperjalankan dahulu baru kemudian dipahamkan ayat-Nya, dll. Kondisi ini juga dialami Rasulullah SAW, dimana Allah SWT menurunkan pemahaman Al-Qur’an secara bertahap. Tidak sekaligus.

”Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. (Al-Qiyamah 75 : 16-19).

”Allah menganugerahkan al-Hikmah (Kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Surat Al-Baqarah 2 : 269).

”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Al-Baqarah 2 : 147)

Yang perlu menjadi catatan disini adalah beda maknanya antara anda tahu (belajar sendiri, entah itu dari ustadz, buku, dll) dan paham (diajarkan oleh Allah SWT). Tahu sifatnya sementara sehingga kadang manusia akan lupa karena tahu adalah hasil dari olah pikir/otak. Sedangkan paham sifatnya kekal karena hasil pengajaran Allah SWT yang ditanamkan dalam hati hamba-Nya dan sang hamba mengalami peristiwa ayat tersebut. Proses ajar mengajar ini berlangsung terus menerus sampai ajal menjemput. Sang hamba juga akan dipelihara dan dijaga oleh Allah SWT selama masa hidup-Nya, Insya Allah, Inilah makna hakiki dari Nuzulul Qur’an.


(Bersambung....)

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridho Allah SWT!!!

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi,

Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang 

Jumat, 12 Juli 2013

REPACKAGE : MERAIH “PIALA” RAMADHAN (1)


Kalau boleh saya analogkan dengan dunia olah raga, maka puasa Ramadhan merupakan ajang pertandingan bagi umat Islam. Seluruh waktu, tenaga dan pikiran difokuskan pada aktivitas prosesi ibadah, baik puasa Ramadhan itu sendiri, maupun ibadah wajib dan sunah lainnya seperti memelihara shalat fardhu 5 (lima) waktu, shalat tarawih, shalat tasbih, tadarus dan mengkhatamkan Al-Qur’an dalam 1 bulan, iktikaf di masjid pada 10 hari terakhir, dan lain sebagainya.

Saat ini umat islam bagaikan seorang atlit yang bertanding mati-matian agar menjadi juara untuk memperebutkan “piala” yang bernama Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar. Kenapa harus mati-matian? Karena piala ini hanya diperebutkan hanya satu tahun sekali yaitu pada bulan suci Ramadhan dan kita belum tentu di tahun depan dapat menemui kembali moment seperti ini, kecuali diberi karunia panjang umur dan nikmat iman oleh Allah SWT.

Ada sebagian pendapat yang saya kira perlu diluruskan yang menyatakan bahwa bulan Ramadhan adalah waktunya umat islam untuk melatih diri dengan memperbanyak amal ibadah. Tetapi menurut pendapat saya pribadi, bahwa yang namanya berlatih bukanlah pada saat Ramadhan, tetapi 11 bulan di luar bulan suci ini. Ibarat seorang atlit, sebelum melakukan pertandingan maka dia harus melakukan latihan di luar event itu. Kenapa? Tanpa melakukan latihan pastilah sang atlit lambat atau cepat akan mudah tersingkir dari arena pertandingan.

Seyogyanya, umat islam selama 11 bulan berlatih untuk menyambut bulan Ramadhan. Entah itu dengan ibadah “tambahan” seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Nabi Daud AS, selalu menjaga frekuensi shalat sunah, memelihara perilaku (ahlak) yang islami serta ibadah lainnya. Dengan catatan, tentunya tetap menjaga ke-ajeg-an shalat fardhu 5 (lima) waktu. Dengan persiapan yang matang maka diharapkan di bulan Ramadhan umat islam tidak akan keteteran dalam melaksanakan prosesi ibadah tambahan, seperti shalat tarawih, iktikaf dan lain sebagainya.

Dengan berlatih diharapkan pula ketahanan fisik (badan) dan batin (ruhani) lebih prima dan siap untuk menyongsong datangnya bulan suci Ramadhan dengan penuh ikhlas dan khusyu’. Karena bagaimanapun juga setiap prosesi ibadah melibatkan 2 (dua) aspek yaitu batiniyah dan badaniyah yang harus terus dipelihara dan berjalan secara seimbang. Tanpa adanya keseimbangan maka dalam menunaikan ibadah pastilah gersang, terutama bila aspek batiniyah tidak dilibatkan.

Bila masa latihan selama 11 bulan tersebut dipenuhi, Insya Allah, umat islam mampu melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan memperoleh piala berupa Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar. Pertanyaannya sekarang adalah apa makna (hakikat) dari Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar? Marilah coba kita uraikan satu per satu.
(Bersambung….)

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridho Allah SWT!!!

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi

Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang


Kamis, 11 Juli 2013

RASULULLAH SAW SAJA TIDAK SAKTI


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Perang Uhud adalah peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy  Mekah yang terjadi pada tahun 3 Hijriah di Gunung Uhud. Gunung kecil yang terdiri dari batu hitam diselimuti oleh tanah kering ini tingginya 1050 meter, terletak di sebelah barat laut Madinah, tepatnya 5 km arah utara dari Masjid Nabawi dan arah selatan dari Gunung Tsur. Peristiwa pertempuran ini terasa begitu dahsyat dan memberikan dampak emosional, 70 Orang Syuhada gugur dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terluka.

            Rasulullah Muhammad SAW pun sebelumnya juga pernah terluka ketika beliau sedang syiar di wilayah Thaif. Singkat cerita, ternyata masyarakat tidak berkenan dengan kehadiran dan syiar beliau, sehingga melemparinya dengan batu sehingga wajah Rasulullah SAW berdarah dan beberapa giginya ada yang tanggal.

            Dari kedua peristiwa di atas dapat dipetik hikmah bahwa Rasulullah SAW adalah manusia biasa, namun diberi derajat sebagai nabi. Secara fisik tidak ada perbedaan dengan kita, bila terkena benda keras atau benda tajam pastilah terluka. Inilah sunnatullah manusia. Kepadatan badan kita secara tinjauan ilmiah pun kalah dibandingkan oleh batu, benda tajam, dan lain sebagainya. Jadi, sebagai seorang manusia biasa, Rasulullah SAW tidak memiliki kesaktian sehingga kebal terhadap apapun. Bahkan dalam literatur islam juga diceritakan bahwa Rasulullah SAW juga pernah terkena ilmu hitam yang dikirim oleh wanita Yahudi. Secara jelas pun Allah SWT menerangkan dalam Al-Qur’an, bahwa seorang nabi pun tidak sakti (punya ilmu kebal,dll).

Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (QS. Al-An’aam 6:50).

            Dari pelajaran di atas, baiklah sekarang kita tengok apa yang terjadi di sekeliling kita atau kita lihat beberapa tayangan televisi yang menayangkan tentang kekebalan seseorang atau seorang yang sakti dapat menyembuhkan dalam waktu sekejab, bertempur dengan makhluk ghaib (jin) dan kebal terhadap senjata tajam, dll. Apa yang sebenarnya terjadi?

            Ketika orang-orang yang mengaku punya kelebihan itu ditanya, pastilah jawaban mereka adalah bahwa ilmu tersebut diperoleh dari pemberian Allah SWT karena mereka mengamalkan dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an atau mengamalkan sesuatu bacaan dengan hitungan tertentu. Benarkah alasan mereka benar? Apakah yang mereka amalkan (baca) sesuai dengan apa yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW meskipun mereka berdalih membaca dan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an?

            Berhati-hatilah. Mengapa? Dari pengalaman yang pernah saya alami, banyak dari bangsa Jin kafir pun yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an. Ditengah ketidaksadaran kita, sebenarnya banyak dari kita yang memanfaatkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an tidak sebagaimana mestinya, sehingga ayat-ayat Al-Qur’an tersebut “menjelma” dan berubah menjadi mantra untuk memanggil (sebagai kode) kepada para Jin yang “melindungi” kita dengan memberikan ilmu kesaktian. Umumnya kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan nabi SAW dan mencomot (membagi-bagi) beberapa ayat untuk digunakan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu kita. Jadi disini terjadi salah kaprah (kurangnya pemahaman) bahwa sesuatu yang ada hubungan dengan Al-Qur’an pastilah ilmu ghaib (kelebihan) yang kita dapat berasal dari Allah SWT. Padahal dari dua contoh di atas sudah jelas, bahwa Rasulullah SAW saja yang menerima wahyu (ayat Al-Qur’an) tidak mempunyai kesaktian. Apa yang terjadi kepada Rasulullah SAW semata-mata pertolongan dan karunia yang diberikan oleh Allah SWT.

            Memanfaatkan Al-Qur’an bukanlah dengan cara membagi-bagi sesuai dengan keinginan nafsu kita, namun harus memahaminya secara holistik, sehingga kita tahu bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai pedoman dan pelita hati dalam beribadah, bukan dijadikan “mantra” untuk berkolaborasi dengan jin/iblis. Sekali lagi berhati-hatilah, bahwa para jin/iblis semakin canggih dan halus cara menjerumuskan (menyesatkan) kita dengan memanfaatkan kelemahan kita sekaligus membumbui sesuatu yang kelihatannya bersifat islami. Inilah yang dikatakan azab dari Allah SWT kepada golongan ini namun mereka tidak menyadarinya.
  
“Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Quran itu terbagi-bagi.” (QS. Hijr 15:90-91).

            Lalu siapa sebenarnya yang “melindungi” manusia-manusia yang mengaku punya kelebihan (kebal, dll)? Mereka adalah golongan jin yang memang dengan cerdiknya mengelabui umat islam yang pemahaman agamanya tidak komprehensif. Di ayat lain Allah SWT sudah memperingatkan bahwa secara tidak sadar banyak dari manusia yang menyembah jin karena ketidaktahuannya. Jadi berhati-hatilah, jangan sampai kita menjadi musyrik, karena terjerumus dalam ke-syirik-an karena “menduakan” Allah SWT.

“Malaikat-malaikat itu menjawab: "Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu." (QS. Saba’ 34:41).

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Jin 72:6).

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul : MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul: MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang


Rabu, 10 Juli 2013

IKHLAS-LAH DALAM BERPUASA RAMADHAN


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Salah satu pondasi dasar dalam beribadah yaitu harus disertai dengan keikhlasan. Ketika seseorang dalam “maqam” ini maka ibadah yang dilakukannya tidak menjadi beban sedikit pun karena didasari rasa yang senang. Dalam beribadah pada intinya semata-mata hanya untuk menggapai rahmat dan ridho Allah SWT, dengan mengesamping sesuatu dan apapun selain Allah SWT.

Apa jadinya bila ibadah yang anda jalankan ingin dilihat orang? maka ibadah anda masuk kategori riya’; Apa jadinya jika ibadah tersebut anda pamer-pamerkan di depan makhluk Allah SWT lainnnya? Maka anda masuk klasifikasi sombong (ujub); Apa jadinya jika ibadah yang anda kerjakan ingin dihargai/dihormati orang lain? Pastilah ibadah yang anda jalankan tidak atau jauh dari ikhlas.

            Ketika anda mendirikan shalat sendiri atau berjamaah, maka yang dituntut keikhlasan, sehingga shalat anda tidak menjadikan beban (kewajiban) bagi anda tetapi menjadi suatu kebutuhan, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini,

Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; …(QS. Saba’ 34:46).

            Hal yang sama juga dituntut keikhlasan ketika anda menjalankan ibadah puasa ramadhan. Ibadah puasa ramadhan anda adalah “rahasia kemesraan tertinggi” karena yang tahu hanya antara Allah SWT dengan diri anda sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, 1761 dan Muslim, 1946 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alai wa sallam bersabda, "Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya."

Lalu bagaimana jika ibadah puasa ramadhan yang anda jalankan ingin dihormati atau dihargai orang lain yang kebetulan tidak berpuasa?

            Inilah dua posisi yang membedakan antara orang yang di-iman-kan oleh Allah SWT dan meng-iman-kan diri sendiri (baca artikel saya yang berjudul Sudahkah Kita Beriman?). Manusia yang di-iman-kan oleh Allah SWT maka tidak terpengaruh oleh kondisi dan situasi lingkungan apapun di mana dia menunaikan ibadah tersebut. Tidak ada rasa kekhawatiran dan ketakutan bahwa ibadahnya terpengaruh oleh lingkungannya karena hamba “maqam” ini dijaga langsung oleh Allah SWT saat menjalankan ibadah tersebut.   Justru manusia jenis ini bersikap bijak dengan menghormati, berempati dan bertoleransi kepada manusia lain yang kebetulan tidak menunaikan ibadah puasa, tanpa takut terpengaruh sedikit pun.

Kondisi ini sangat jauh berbeda bagi manusia yang meng-iman-kan diri sendiri (merasa beriman), maka ada rasa ketakutan dan kekhawatiran pada dirinya yaitu jangan-jangan ibadahnya tidak khusyu’ karena terpengaruh oleh kondisi dan situasi lingkungannya. Oleh sebab itu dia menginginkan orang lain untuk menghormati dan menghargai. Lho kok aneh ya? Beribadah itu semata-mata (ikhlas) karena Allah SWT, bukan pengin dihormati orang lain. Apa jadinya kalau ibadah kita ingin dinilai orang lain? Ikhlaskah anda?

Oleh karena itu yang “dipanggil” Allah SWT untuk menjalankan ibadah puasa ramadhan adalah orang-orang yang beriman (lebih tepatnya telah di-iman-kan Allah SWT). Mengapa? Karena ibadah ramadhan adalah salah satu moment untuk “menaikkan” level orang beriman menjadi taqwa sehingga menjadi orang islam yang kaffah karena di akhir ramadhan akan kembali menjadi fitrah.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,..(QS. Al-Baqarah 2:183)

            Bagaimana agar kita di-iman-kan Allah SWT dan meraih level taqwa? Riyadloh apa yang mesti di-istiqomah-kan? Lalu bagaimana cara meraih lailatul qodar dan ke-fitrah-an? Saya tidak mungkin menjabarkan dan menjawab pertanyaan tersebut dalam artikel ini karena terbatasnya ruang dan waktu. Untuk itu silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH . Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul  MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Sabtu, 06 Juli 2013

PERMASALAHAN SETIAP KALI DATANGNYA BULAN RAMADHAN (2-Selesai)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pokok Bahasan
                   Apa yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW dahulu tentu sah berdasarkan syariat islam dan sesuai dengan kondisi saat itu karena hilal (rukyat) memang baru terlihat dengan mata telanjang ketika posisi bulan telah bergeser di atas 2 derajat. Rasulullah Muhammad SAW sendiri tidak menggunakan metode hisab, karena penanggalan islam sendiri baru muncul di jaman pemerintahan khalifah Umar bin Khattab yang mengacu pada peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dan umat islam dari Mekah ke Madinah.
                     
                  Kondisi 14 abad yang lalu tentu sangat berbeda jauh dengan kondisi sekarang ini dimana ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat kemajuannya dengan diketemukannya teropong bintang yang diilhamkan Allah SWT kepada ilmuwan (ulama dunia) sebagai bentuk sunnatullah. Inilah salah satu bentuk kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia dewasa ini. Dengan teropong bintang inilah sebenarnya membantu umat islam dewasa ini untuk menentukan rukyat karena terbatasnya penglihatan dengan mata telanjang (harus 2 derajat). Dengan teropong bintang ini pula pergeseran hilal (rukyat) akan mudah ditentukan untuk menentukan pergantian bulan.
                     
                  Secara ilmu pengetahuan pun kita setujui bersama, bila sesuatu benda yang telah bergeser pada tempatnya semula maka telah terjadi perubahan besarannya. Demikian pula ketika bumi, matahari dan bulan sejajar maka dapat dikatakan dalam posisi 0 (nol) derajat.   Tetapi bila dari ketika benda tersebut salah satunya sudah ada yang bergeser maka posisinya sudah tidak 0 (nol) derajat lagi (ada perubahan) betapa pun kecilnya. Perubahan inilah yang menunjukkan bahwa telah ada perubahan bulan (sya’ban ke ramadhan). Kondisi ini dapat dilihat dengan alat bantu teropong (ilmu pengetahuan) meskipun masih berada di bawah 2 derajat.

               Kalau pun dewasa ini ada sebagian umat islam yang masih menggunakan hilal (rukyat) dengan mata telanjang maka sungguh disayangkan, karena sejatinya mereka mengabaikan ilmu pengetahuan yang telah diturunkan Allah SWT melalui ulama dunia (ilmuwan). Mereka membantah Allah SWT tanpa ilmu pengetahuan sehingga tidak mendapat petunjuk, sebagaimana bunyi firman berikut ini,

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya” (QS. Al-Hajj 22:8).
           
“Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu  Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? (QS. Hud 11:14).
           
            Mengapa sebagian dari umat islam dewasa ini masih menggunakan metode lama, dimana memang secara sunnatullah saat itu ilmu pengetahuan dan teknologi belum diketemukan dan semaju sekarang (sekali lagi saya tekankan bahwa penentuan hilal saat itu sah sesuai syariat islam karena belum ada teknologi dalam melihat hilal~rukyat). Mengapa kita masih berhukum jahiliyah (masih dibodohkan) dengan melihat jauh ke belakang sementara peradaban saat ini sudah demikian pesat kemajuannya? Apakah kita tidak menghiraukan peringatan Allah SWT sebagaimana bunyi firmannya,

“Apakah hukum Jahiliyah (masih dibodohkan) yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah 5:50)

“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan (kebodohan), kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-An’aam 6:54)

                 Apa jadinya kalau kita menunaikan ibadah justru dijadikan main-main sesuai dengan kehendak kita dan tidak mengikuti peringatan Allah SWT? Maka berhati-hatilah karena perbuatan ini termasuk dalam kekafiran sebagaimana bunyi ayat berikut ini,

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (bulan suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri  kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah 9:36)
                                   
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram (suci) itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. At-Taubah 9:37).

                   Ayat di atas (QS. At-Taubah 9:36) berkenaan dengan larangan Allah SWT kepada umat islam agar jangan melakukan perang, kecuali pihak musuh yang memulainya. Gencatan senjata adalah hal yang sebaiknya dilakukan. Adapun maksud dari 4 bulan haram (suci) itu adalah Muharram, Rajab, Zulqaedah dan Zulhijjah.
                 
                  Lalu bagaimana dengan penjelasan ayat berikutnya (QS. At-Taubah 9:37)? Adakah kaitannya dengan ayat sebelumnya? Sebelum saya menjawab, terlebih dahulu saya ingin bertanya kepada anda. “Apakah Ramadhan termasuk bulan suci?”. Pasti jawaban anda, “IYA”. Kalau demikian halnya, sejatinya ramadhan termasuk bulan haram.

        Jadi sebenarnya antara ayat At-Taubah 9:36 dengan At-Taubah 9:37 beda peruntukkannya dan tidak diturunkan secara bersamaan, meskipun letaknya berurutan (yang disusun oleh para sahabat Rasulullah SAW pasca beliau wafat). Yang satunya larangan terhadap perang di 4 bulan haram (Muharram, Rajab, Zulqaedah dan Zulhijjah) dan Yang satunya larangan mengundur-undurkan masuknya bulan ramadhan (dan ini terjadi disetiap tahunnya sesuai yang disinyalir pada ayat tersebut di atas) yang berakibat pada kekafiran.  Inilah salah satu misteri ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan buku ciptaan manusia yang pembahasannya secara berurutan untuk memahaminya. Umat islam tidak akan paham ayat-ayat Al-Qur’an (takwil beserta ilmu pengetahuannya) kalau tidak mau belajar sendiri kepada Allah SWT (selaku pemilik wahyu) dengan meneladani cara Rasulullah Muhammad SAW. 

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Syuraa 42:52)

               Untuk itu, ada baiknya untuk menentukan kapan datangnya bulan ramadhan, para pemegang otoritas agama islam di Indonesia mau duduk bersama tanpa mengabaikan ilmu pengetahuan yang telah diturunkan Allah SWT, sehingga tidak ada perbedaan dalam menentukan datangnya ramadhan. Tidak perlulah kita mengedepankan ego masing-masing. Malu rasanya kalau beberapa tahun belakangan ini umat islam menjadi buah bibir pembicaraan umat lain. Semoga penentuan awal ramadhan, awal syawal dan 10 dzulhijah tahun ini tidak ada perbedaan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Maidah 5:57)

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At-Taubah 9:119)

              Demikian sedikit pokok bahasan tentang penentuan puasa ramadhan. Semoga bermanfaat. Amin ya Rabbal’alamiin.

Selamat menunaikan ibadah puasa ramadhan 1434 H, semoga kembali ke fitrah. Saya mohon maaf lahir batin bila ada kata-kata yang sengaja atau tidak menyinggung para pembaca selama ini.

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!

Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, silahkan download E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH (silahkan klik tulisan/judul di samping yang berwarna biru untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download). saya juga telah me-launching E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH                           (silahkan klik tulisan/judul di samping yang warna biru untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download).

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang