DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Minggu, 30 Juni 2013

MISTERI ISRA' MI'RAJ (3-Selesai)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Pertanyaan selanjutnya adalah kalau Rasulullah Muhammad SAW dan umat islam dapat mi’raj atas ijin-Nya, lalu bagaimana dengan para nabi-nabi yang lainnya? Apakah mereka juga diperjalankan (mi’raj) agar dapat berdialog dengan Allah SWT? Jawabannya IYA. Di dalam Al-Qur’an secara tersirat Allah SWT menginformasikan demikian. Di bawah ini adalah beberapa ayat yang menerangkan bahwa para nabi lain pun diperjalankan Allah SWT untuk mi’raj.

  1. Nabi Muhammad SAW.
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Isra’ 17:1).

  1. Nabi Ibrahim AS.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. (QS. Al-An’aam 6:75).

  1. Nabi Musa AS
untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar, (QS. Thaahaa 20:23).

  1. Nabi Isa AS.
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara. (QS. An-Nisaa’ 4:171).

            Peristiwa mi’raj ini sebenarnya sebagai pembuktian (syahadat) seseorang. Jadi syahadat-nya bukan sebatas pengucapan dibibir (iqrar bil lisan), namun sampai mengalami Ma’rifatullah bil Qalbi dan amalan bi arkan, sehingga tidak ada keraguan sedikit pun bahwa memang Allah SWT itu adalah ESA dan Tuhannya segala apa yang di langit dan di bumi.
           
Dalam pencapaian ini tentu kita harus meneladani bagaimana cara ber-spiritual para nabi dalam berma’rifatullah (baca artikel saya yang berjudul  Antara Muhammad Yang Ummi dan Muhammad Yang Nabi). Umat islam pun sejatinya harus meneladani berspiritual para nabi untuk membuktikan (bersaksi/bersyahadat) bahwa Tiada Tuhan Selain Allah. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk untuk pembuktian tersebut sehingga umat islam benar-benar yakin bahwa Allah SWT itu ESA. Tanpa meneladani cara ber-spiritual para nabi dan paham isi Al-Qur’an mustahil kita dapat membuktikan bahwa Allah SWT itu ESA sebagaimana yang dialami para nabi.

“(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran”. (QS. Ibrahim 14:52)

            Lalu apa arti Esa itu, secara tersurat Allah SWT telah menginformasikan dalam Al-Qur’an, “Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya” (QS. Al-Isra’ 17:43).

            Meski Allah SWT telah menginformasikan demikian, tentu anda masih mengalami “kebingungan”. Mengapa? Karena semua itu diperlukan proses mulai dari yaqin, ilmu yaqin (belajar), a’inul yaqin (mengalami) dan haqqul yaqin (memahami). Kalau anda membaca artikel ini maka anda baru memasuki proses ilmu yaqin, belum sampai masuk tahapan a’inul yaqin apalagi haqqul yaqin. Untuk mencapai tahapan berikutnya diperlukan ke-istiqomah-an dan riyadloh dalam mengamalkan dan meneladani cara ber-spiritual para nabi, sehingga pada waktu tertentu Allah SWT akan berkenan memperkenalkan siapa dirinya kepada anda, sebagaimana bunyi ayat, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaahaa 20:14).

          Lalu bagaimana cara berspiritual para nabi sehingga Allah SWT berkenan men-syahadatkan kita? Silahkan download E-BOOK pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH (Silahkan klik judul E-Book di sebelah yang berwarna merah, kemudian baca syarat dan ketentuannya untuk mendapat E-Book tersebut). Anda juga dapat mendownload E-BOOK kedua saya yang berjudul :  MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (Silahkan klik judul E-Book di sebelah yang berwarna merah, kemudian baca syarat dan ketentuannya untuk mendapat E-Book tersebut).  

            Demikian sedikit uraian saya, semoga bermanfaat di dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal’alamiin.

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Jumat, 28 Juni 2013

MISTERI ISRA' MI'RAJ (2)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Sedikit banyak bagaimana peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi telah saya bahas dalam artikel saya yang berjudul Misteri Isra' Mi'raj (1) namun demikian ada hal yang menarik lainnya untuk kita bahas dibalik peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah SAW, salah satunya adalah ketika beliau bertemu dengan beberapa ruh beberapa nabi disetiap tingkatan “langit” yang berjumlah 7 (tujuh) lapis dan tentang kefitrahan. Ada misteri apa dibalik peristiwa itu? Dalam suatu hadits dijelaskan sebagaimana berikut ini:

Hadist riwayat Malik bin Sha`sha`ah ra., ia berkata: Nabi saw. bersabda, “Ketika aku sedang berada di dekat Baitullah antara tidur dan jaga, tiba-tiba aku mendengar ada yang berkata: Salah satu dari tiga yang berada di antara dua orang. Lalu aku didatangi dan dibawa pergi. Aku dibawakan bejana dari emas yang berisi air Zamzam. Lalu dadaku dibedah hingga ini dan ini. Qatadah berkata: Aku bertanya: Apa yang beliau maksud? Anas menjawab: Hingga ke bawah perutnya. Hatiku dikeluarkan dan dicuci dengan air Zamzam, kemudian dikembalikan ke tempatnya dan mengisinya dengan iman dan hikmah. Lalu aku didatangi binatang putih yang disebut Buraq, lebih tinggi dari khimar dan kurang dari bighal, ia meletakkan langkahnya pada pandangannya yang paling jauh. Aku ditunggangkan di atasnya. Lalu kami berangkat hingga ke langit dunia. (Sampai di sana) Jibril minta dibukakan. Dia ditanya: Siapa ini? Jibril menjawab Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Muhammad saw. jawab Jibril. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Ya, jawabnya. Malaikat penjaga itu membukakan kami dan berkata: Selamat datang padanya. Sungguh, merupakan kedatangan yang baik. Lalu kami datang kepada Nabi Adam as. (selanjutnya seperti kisah pada hadis di atas). Anas menjelaskan bahwa Rasulullah bertemu dengan Nabi Isa as. dan Nabi Yahya as. di langit kedua, di langit ketiga dengan Nabi Yusuf as. di langit keempat dengan Nabi Idris as. di langit kelima dengan Nabi Harun as. Selanjutnya Rasulullah saw. bersabda: Kemudian kami berangkat lagi. Hingga tiba di langit keenam. Aku datang kepada Nabi Musa as. dan mengucap salam kepadanya. Dia berkata: Selamat datang kepada saudara dan nabi yang baik. Ketika aku meninggalkannya, ia menangis. Lalu ada yang berseru: Mengapa engkausujud 2 menangis? Nabi Musa menjawab: Tuhanku, orang muda ini Engkau utus setelahku, tetapi umatnya yang masuk surga lebih banyak daripada umatku. Kami melanjutkan perjalanan hingga langit ketujuh. Aku datang kepada Nabi Ibrahim as. Dalam hadis ini dituturkan, Nabi saw. bercerita bahwa beliau melihat empat sungai. Dari hilirnya, keluar dua sungai yang jelas dan dua sungai yang samar. Aku (Rasulullah saw.) bertanya: Hai Jibril, sungai apakah ini? Jibril menjawab: Dua sungai yang samar adalah dua sungai di surga, sedangkan yang jelas adalah sungai Nil dan Furat. Selanjutnya aku diangkat ke Baitulmakmur. Aku bertanya: Hai Jibril, apa ini? Jibril menjawab: Ini adalah Baitulmakmur. Setiap hari, tujuh puluh ribu malaikat masuk ke dalamnya. Apabila mereka keluar, tidak akan masuk kembali. Itu adalah akhir mereka masuk. Kemudian aku ditawarkan dua bejana, yang satu berisi arak dan yang lain berisi susu. Keduanya disodorkan kepadaku. Aku memilih susu. lalu dikatakan: Tepat! Allah menghendaki engkau (berada pada fitrah, kebaikan dan keutamaan). Begitu pula umatmu berada pada fitrah. Kemudian diwajibkan atasku salat lima puluh kali tiap hari. Demikian kisah seterusnya sampai akhir hadits.” (Shahih Muslim No.238)
           
Dari peristiwa di atas ada dua hal yang akan saya bahas disini, yaitu : Pertama, Bertemunya Rasulullah Muhammad SAW dalam peristiwa mi’raj ini menandakan bahwa beliau diberikan derajat Allah SWT sebagai seorang nabi. Inilah cara Allah SWT “melantik” dan memberikan “Surat Keputusan/SK” bahwa seseorang ditunjuk sebagai utusan-Nya. Demikian pula para pengganti para nabi yaitu ulil amri (waliyullah dan alim ulama), mereka pun akan dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki derajat yang sama saat diperjalankan Allah SWT pada waktu mi’raj sebagai tanda dan bukti bahwa Allah SWT telah “melantik” dan memberikan “SK” atas dirinya sebagai utusan-Nya (baca juga artikel saya yang berjudul NGGAK DILANTIK KOK MENGAKU-AKU (1,2,3))

Kedua, Bahwa hakikinya, baik itu Rasulullah Muhammad SAW maupun umatnya dapat melakukan mi’raj untuk “berjumpa”, berdialog, dan berkomunikasi dengan Allah SWT melalui shalat. Itu mengapa dalam suatu hadits Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, “Ash-Sholatu Mi’rajul Mu’miniin” (Shalat itu mi’raj-nya orang mukmin). Shalat adalah pertemuan antara hamba dengan Rabb-nya tanpa perantara siapapun dan dengan apapun. Itu mengapa sepulang dari Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW diperintahkan Allah SWT untuk mendirikan shalat fardlu 5 (lima) waktu sehari semalam sebagai sarana perjumpaan antara hamba dengan Khaliq-nya. Melalui shalat yang khusyu’-lah seorang hamba akan dapat berjumpa dengan Allah SWT sebagaimana bunyi firman-Nya,

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah 2:45-46).

            Ketiga, lalu siapa sebenarnya dari diri kita yang dapat berjumpa dengan Allah SWT? Tentu saja yang sifatnya immaterial. Apa itu? Amr Tuhan (ruh). Untuk berjumpa dengan yang immaterial tentu saja sesuatu yang harus immaterial juga. Sebenarnya ruh kita pernah berjumpa dan diambil saksinya oleh Allah SWT sebelum “ditiupkan” ke dalam tubuh kita semasa masih di dalam kandungan ibu di usia 4 (empat) bulan. Namun seiring dengan kelahiran dan kedewasaan kita, banyak hal yang menyebabkan ruh kita terkurung (terhijab) oleh  nafsu dan jiwa yang fujur.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A’raaf 7:172).

            Untuk itu diperlukan ke-fitrah-an agar ruh kita berkuasa atas diri ini. Mengapa? Karena tidak mungkin sesuatu yang kotor dapat berjumpa dengan Yang Maha Suci. Lalu bagaimana caranya agar kita meraih ke-fitrah-an? Dengan meneladani cara Rasulullah SAW sehingga Allah SWT berkenan “membersihkan” diri kita sebagaimana keterangan hadits di atas yang merupakan penjelasan ayat Al-Qur’an, yaitu Allah SWT membersihkan hati (dada) kita dari nafsu dan jiwa yang fujur (penyakit hati).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur 24:21).

Dan Kami cabut segala macam dendam (penyakit hati) yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran." Dan diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan." (QS. Al-A’raaf 7:43).

Apa yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW untuk meraih ke-fitrah-an? Hal apa yang mesti kita (umat islam) amalkan?  Untuk jawabannya silahkan men-download E-Book (Electronic Book) saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH (silahkan klik kalimat berwarna merah disebelah untuk melihat beberapa syarat dan ketentuan). Bila anda berkenan, silahkan download juga E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (silahkan klik kalimat berwarna  merah disebelah untuk melihat beberapa syarat dan ketentuan). Silahkan membaca, semoga bermanfaat di dunia dan akhirat. Amin Ya Rabbal’alamiin.

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Rabu, 26 Juni 2013

NGGAK DILANTIK KOK MENGAKU-AKU (3-SELESAI)


Adapun yang jadi masalah (salah kaprah) sekarang ini adalah banyak orang mengaku, bangga dan merasa berhak menyandang gelar (derajat) tersebut. Padahal apa yang diakuinya bukanlah pemberian (karunia) dari Allah SWT tapi gelar tersebut diperoleh (melekat) menurut penilaian manusia berdasarkan kriteria-kriteria tertentu sesuai kesepakatan bersama. Lha kalau demikian yang terjadi, maka telah terjadi bias mengenai kriteria seseorang yang berhak menjadi pemegang otoritas agama (waliyullah dan ulama) antara versi Allah SWT dengan versi manusia. Gimana coba? Apa nggak jadi runyam urusannya? Yang kasihan umatnya. Lha nggak dilantik dan mendapat SK dari Allah SWT kok mengaku-aku. Apa jadinya?

             Ibarat bolam lampu, yang bersinar tentu yang dapat menerangi ruangan. Sedangkan bolan yang mati, ya mana mungkin membuat ruangan menjadi terang. Kalau pemegang otoritas agama (penerus nabi) telah dianugerahi nur islam dan nur iman dari Allah SWT sebagai tanda dan bukti sebagai utusan-Nya pastilah dakwahnya dapat memberikan pencerahan umat. Sebaliknya, pemegang otoritas agama yang berdasarkan kesepakatan manusia (tanpa nur islam dan nur iman dari Allah SWT) tentulah beda hasilnya, baik saat maupun setelah memberikan dakwah kepada umatnya. Tidak akan pernah ada pencerahan atau apa yang disampaikan tidak membekas dihati umat yang mendengarkannya, akibatnya nilai-nilai agama jauh dari kehidupan dan perilakunya sehari-hari.
               
             Kalau demikian realitanya. anda sendirilah yang sekarang harus berhati-hati serta jeli untuk menilai dan membedakan mana orang yang sebenarnya utusan Allah SWT sehingga atas ijin-Nya dakwahnya dapat memberikan pencerahan atau seseorang yang hanya mengaku-aku sebagai utusan (orang pilihan)-Nya (karena tidak ada tanda dan bukti mendapat nur islam dan nur iman). Jangan sampai anda menyesal di kemudian hari, karena baik anda maupun mereka yang mengaku-aku utusan-Nya tidak diampuni dosanya dan tempatnya di neraka. Bahkan SWT Allah mengibaratkan tidak mungkin diampuni dosa keduanya sebagaimana masuknya unta dalam lubang jarum (hal yang mustahil terjadi). Coba perhatikan ayat berikut ini,

“Allah berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu. Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu: "Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka." Allah berfirman: "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui. Dan berkata orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian: "Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas kami, maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan. Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan”. (QS. Al-A’raaf 7:38-40).

            Itu mengapa Rasulullah SAW prihatin dan berpesan kepada umatnya agar hati-hati pada mereka yang mengaku-aku alim ulama tetapi sebenarnya belum mendapat pengajaran dari Allah SWT dan diangkat menjadi utusan-Nya bagi umat manusia karena tidak mendapat nur islam dan nur iman, sebagaimana sabda beliau, Yang aku takuti terhadap umatku ialah pemimpin-pemimpin (ulama) yang menyesatkan. (HR. Abu Dawud) dan Celaka atas umatku dari ulama yang buruk. (HR. Al Hakim).
(Selesai)


Apa yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna merah di samping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. (silahkan klik tulisan warna merah disamping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)

Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
        
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Selasa, 25 Juni 2013

SAYANG PADAKU - Novia Kolopaking



NGGAK DILANTIK KOK MENGAKU-AKU (2)

Lalu siapa sebenarnya pengganti (penerus) tugas nabi pasca Rasulullah SAW wafat dan yang berhak menduduki “jabatan” dibawah Muhammad SAW untuk syiar islam? Yaitu hamba-hamba yang dipilih dan dikehendaki Allah SWT, atau mereka biasa disebut dengan para ulil amri. Kata ulil amri bukanlah sebagaimana yang sering kita pahami selama ini yaitu pemimpin suatu negara, tetapi mereka adalah manusia pilihan pewaris kitab atau penerus nabi. Para penerus nabi ini dibagi menjadi dua tingkatan yaitu pertama, Waliyullah sebagai poros, jumlahnya satu orang, dan otoritasnya mencakup antar bangsa. Selama dunia ini berputar, maka ketika seorang waliyullah wafat akan digantikan (Allah SWT akan mengangkat) waliyullah lain sebagai penggantinya. kedua, alim ulama yang otorisasinya skala “lokal” (daerah/kampung) jumlahnya ada beberapa orang. Ketika seorang alim ulama wafat maka Allah SWT juga akan mengangkat alim ulama lain sebagai penggantinya. Keberadaan mereka inilah yang menyebabkan dunia hingga kini masih berputar. Kalau bumi hingga masih ini berotasi dan berevolusi maka ini ada peran mereka. Kalau dapat dianalogkan dengan roda, dimana  waliyullah sebagai as-nya, sedangkan alim ulama ulama adalah gotri (bola-bola besi kecil di dalam laker) yang mengelilingi as. Kedua golongan inilah yang diangkat dan dilantik Allah SWT yang ditandai dan diberi bukti berupa nur iman dan nur islam.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya(QS. An-Nisaa’ 4:59).

“Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan”. (QS. Al-A’raaf 7:181).
                
           Lalu siapa yang menjadi jeruji dan bannya agar roda berputar? Mereka adalah golongan orang munafik, kafir, dzalim, fasik, musyrik, majusi, dan sabi’in. Itu mengapa dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menjelaskan bahwa kebanyakan manusia bukan golongan beriman sebagai bentuk sunnatullah dan takdir (baca artikel saya Sudahkah Kita Beriman?)

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf 12:103).

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)”. (QS. Yusuf 12:106).

               Dalam realita, para penerus nabi ini (waliyullah dan ulama) justru tidak pernah “mengumumkan diri” walaupun sudah dilantik dan mendapat SK (Surat Keputusan) dari Allah SWT sebagai utusan-Nya, karena mereka takut terjerumus  ke dalam sifat sombong. Mereka juga tidak pernah mengobral derajatnya dihadapan umat manusia lainnya. Justru mereka rendah hati bahkan mohon agar Allah SWT berkenan “menyembunyikan” derajat mereka dari pandangan manusia pada umumnya. Biasanya hanya orang-orang tertentu (pilihan) yang tahu siapa sebenarnya mereka. Al-Qur’an pun menjelaskan, bahwa yang tahu waliyullah adalah waliyullah lainnya, demikian pula para alim ulama Allah SWT.

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong”. (QS. Al-Hajj 22:78).

                 Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Ibnu Taymiyyah menjelaskan bahwa : “Wali-wali Allah, Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Jadi jelas, wali bukanlah dari kalangan tertentu dengan penampilan tertentu. Apalagi kalau sampai ada orang yang mengaku-aku sebagai wali, itu bukanlah ciri kewalian. Seorang wali Allah akan selalu menyembunyikan kedekatan dan ketaatannya kepada Tuhan. Andaipun ia mendapatkan karamah (keluar biasaan semacam mukzizat) maka ia tidak akan menceritakan dan mengumumkannya kepada orang ramai”.
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan mengamalkan apa yang diajakrkan Allah kepada mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa”
Rasulullah SAW : “Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi Saw menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. An-Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
    Hadits di atas merupakan penjabaran dari ayat Al-Qur’an berikut ini Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Yunus 10:62).
(Bersambung....)

Apa yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna merah di samping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. (silahkan klik tulisan warna merah disamping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)

Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
       

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Sabtu, 22 Juni 2013

NGGAK DILANTIK KOK MENGAKU-AKU (1)

NGGAK “DILANTIK” KOK MENGAKU-AKU (1)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Secara legal formal (muamalah-sosial kultural), seseorang menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan di suatu negara pastilah diakui oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Melalui proses penyelenggaraan pemilu yang sah dan memperoleh suara terbanyak, berarti seseorang berhak menduduki suatu jabatan. Entah itu mulai dari level Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati. Bahkan dalam level terendah pun, jabatan seorang RT terpilih oleh suara terbanyak dari warganya.

Namun demikian, ada pula seseorang berhak menduduki suatu jabatan karena diangkat/dilantik oleh pejabat yang lebih tinggi kedudukannya, misal menteri diangkat presiden, sekda oleh gubernur, camat dan kepala desa oleh bupati atau walikota, dsb. Demikian pula dalam suatu perusahaan, jabatan direktur dan komisaris dipilih oleh pemegang saham (pemilik modal), sedangkan level struktural seperti General Manager, Manager, dll dipilih oleh pejabat berwenang (direktur).

Apa yang saya contohkan di atas adalah jabatan dalam tataran suatu pemerintahan di sebuah negara yang demokratis atau suatu institusi. Lalu bagaimana dengan “jabatan” ditinjau dari sisi agama? Tentu saja lain persoalannya karena ini menyangkut hubungan dengan Tuhan. Di sinilah Allah SWT pemegang hak tunggal/prerogatif (otoritas) untuk menentukan seseorang menyandang suatu gelar sebagai utusannya. Misalnya seseorang dikatakan seorang nabi/rasul, maka telah memiliki tiga syarat yang diberikan Allah SWT sebagai tanda dan bukti bahwa seseorang sebagai utusan-Nya:

1.   Nabi/Rasul mendapat nur nubuwah (nur kenabian dari Allah SWT). Nur kenabian inilah yang tidak bisa diperoleh seseorang tanpa melibatkan Allah SWT sebagai pemegang hak prerogative. Nur kenabian ini pula pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat sudah tidak ada lagi alias sudah berakhir. Informasi ini dijelaskan pada ayat berikut ini.

    Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Ahzab 33:40).

     Oleh sebab itu, barangsiapa yang mengaku nabi pasca Rasulullah SAW wafat, maka dikatakan sebagai nabi palsu karena nur kenabian sudah berakhir.

2.  Masing-masing nabi/rasul membawa risalah islam (syariat/tata cara/hukum/hikmah) beribadah yang berbeda-beda disetiap periodenya dalam menyembah Allah SWT. Misal Nabi Adam AS, hanya cukup memberikan persembahan sebagaimana yang dicontohkan dan diinformasikan dalam Al-Qur’an ketika kedua anaknya Qabil dan Habil diperintahkan Allah SWT secara simbolis mempersembahkan hasil panennya. Pada akhirnya ibadah Habil yang diterima karena dilandasi keikhlasan dengan memberikan hasil panen yang baik dan jumlahnya banyak. Setiap periodesasi nabi/rasul mengalami evolusi syariat dalam menyembah (shalat) Allah SWT hingga nabi Muhammad SAW, shalatnya seperti yang dilakukan umat islam sekarang ini.

3.   Setiap  nabi  atau   rasul  mendapatkan  wahyu, atau  tepatnya  ayat  (setelah  dihimpun maka  kumpulan   ayat  disebut  dengan   kitabullah)   atau   shuhuf   (catatan)   sebagai pedoman dan  petunjuk untuk beribadah kepada Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an pun, ketiga syarat bahwa seseorang mendapat derajat nabi/rasul telah dijelaskan dengan gamblang sebagaimana ayat berikut ini,Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kitab (ayat), hikmat(risalah islam/hukum/syariat) dan kenabian (nur nubuwah). Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya” (QS. Al-An’aam 6:89)


           Lalu siapa sebenarnya pengganti (penerus) tugas nabi pasca Rasulullah SAW wafat dan yang berhak menduduki “jabatan” dibawah Muhammad SAW untuk syiar islam?

(Bersambung)....


Apa yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna merah di samping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download). Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. (silahkan klik tulisan warna merah disamping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)


Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang


Selasa, 18 Juni 2013

AL-QUR’AN : ANTARA PEDOMAN, HIASAN DAN BEDA PENAFSIRAN (2)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Secara umum, memang ada kesalah-kaprahan dalam memaknai kata “mengaji” yang hingga saat ini dipahami hampir sebagian besar  umat islam, khususnya di Indonesia. Mengaji diidentikkan sebatas dengan membaca dan atau menghafal Al-Qur’an. Padahal secara tata bahasa kata “mengaji” berasal dari kata dasar “kaji” yang artinya mendalami. Jadi ketika kata dasar “kaji” ditambah dengan awalan “meng” maka artinya seseorang secara aktif harus mempelajari lebih mendalam atas informasi yang diperolehnya. Baik itu saat mendengar tausyiah, mendatangi majelis taklim, dan lain sebagainya. Itu mengapa Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, “Belajarlah dari ayunan (anak-anak) sampai liang lahat”. Artinya, sungguh banyak ilmu pengetahuan dan hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Lalu bagaimana cara mengaji Al-Qur’an kepada Allah SWT? Hakikinya  semua umat islam dapat mempelajari dan memahami isi kandungan Al-Qur’an dengan cara meneladani apa yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Bukankah Al-Qur’an diturunkan sebagai rahmat semesta alam? Kalau ada pendapat bahwa Allah SWT tidak mungkin mengajarkan isi kandungan Al-Qur’an kepada umat islam yang awam dan hanya dikhususkan kepada para pemegang otoritas agama saja, maka pendapat itu patut dipertanyakan.
Justru yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kalau pemahaman isi Al-Qur’an dikhususkan kepada pemegang otoritas agama, namun realita justru menunjukan sebaliknya? Misalnya, antara satu pemegang otoritas agama dengan yang lainnya memiliki penafsiran berbeda dalam memahami suatu ayat yang sama atau mengambil dalil ayat-ayat yang berbeda (tidak holistik) dalam menjustifikasi (menyimpulkan) satu topik permasalahan yang dihadapi umat? Mengapa hal ini bisa terjadi?  Ambillah contoh tentang fatwa haram terhadap rokok di Indonesia. Antara satu tokoh agama dengan lainnya berbeda dalam menyikapinya. Mengapa? Sebab di dalam mengambil keputusan berdasarkan sudut pandang masing-masing dan terkadang pula melibatkan sisi kepentingan (nafsu) kelompoknya. Islam yang sebenarnya bersifat universal pada akhirnya menjadi simbol keagamaan, komunitas dan terkotak-kotak.
            Al-Qur’an adalah firman-firman suci dari Allah SWT, maka untuk mempelajari dan memahami tentu saja tidak boleh melibatkan kepentingan (nafsu). Demikian pula dengan otak manusia yang memiliki keterbatasan dan tidak dapat terhindar dari berbagai bombamdir informasi yang terkadang mempengaruhi dalam mengambil keputusan.  Al-Qur’an bukanlah pelita otak, tapi pelita hati. Hanya hati yang jernih, bening dan bersih (suci) dari kepentingan yang akan mampu menerima petunjuk dan pengajaran dari Allah SWT.
Sekali lagi saya tekankan bahwa wahyu adalah bahasa qalam yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali pemilik ayat itu, yaitu Allah SWT. Wahyu adalah bahasa dialog antara Sang Khalik dengan seluruh ciptaan-Nya yang akan diterangkan melalui takwil dan ilmu pengetahuan-Nya. Bukankah di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memperingatkan kepada umat islam bahwa kitab dan iman adalah rahasia-Nya? Ini berarti pemahaman Al-Qur’an adalah hak prerogatif Allah SWT yang dijelaskan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, bukan hasil usaha manusia sendiri. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (QS. Asy-Syura 42:52).
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa yang berhak menjelaskan, menguraikan dan memahamkan takwil atas ayat-ayat-Nya kepada manusia adalah sang pemilik wahyu itu sendiri, yaitu Allah SWT, sebagaimana yang dialami Rasulullah Muhammad SAW dan hamba-hamba pilihan-Nya. Kalau boleh di-analog-kan belajar Al-Qur’an ibarat seorang ilmuwan yang menemukan suatu teori setelah sekian lama bergelut dengan eksperimen, pengamatan dan analisis, maka yang mampu menjelaskan dan menguraikan teorinya secara mendetail tentunya sang ilmuwan itu sendiri.
Kalau demikian halnya, pertanyaan yang perlu mendapat jawab adalah “Apakah benar bahwa Al-Qur’an diajarkan Allah SWT kepada setiap hamba yang bersedia belajar kepada-Nya tanpa melihat latar belakangnya? Apakah pasca Rasulullah SAW wafat wahyu berhenti atau tetap turun?Kalau wahyu tidak lagi turun, mengapa Al-Qur’an dikatakan tidak akan lekang di telan zaman? Kalau wahyu masih turun, lalu apakah sama kriteria wakyu  di zaman Rasulullah Muhammad SAW hidup dengan makna wahyu saat ini? Lalu bagaimana cara mengaji Al-Qur’an kepada Allah SWT sehingga kita tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidup ini? Langkah-langkah apa yang mesti dilakukan sehingga kita memahami isi kandungan Al-Qur’an secara utuh dan holistik? Pertanyaan-pertanyaan ini insya Allah akan diuraikan dalam E-Book saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH Selamat mendownload dan membaca. Dan silahkan download juga E-Book saya yang pertama  berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH.
Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Senin, 17 Juni 2013

AL-QUR’AN : ANTARA PEDOMAN, HIASAN DAN BEDA PENAFSIRAN (1)


           Hidup di dunia ini layaknya seorang musafir yang sedang menempuh perjalanan ke suatu tempat tujuan. Agar perjalanan yang ditempuh berhasil, maka segala hal perlu dipersiapkan mulai dari uang, bekal makanan dan minuman, persiapan fisik dan mental, penguasaan medan yang akan dilalui, dan tentu saja penunjuk jalan (peta). Apa jadinya kalau salah satu persyaratan tersebut tidak dipenuhi? Tentu perjalanannya akan mengalami kesulitan, bahkan tidak menutup kemungkinan yang ditemui adalah kegagalan demi kegagalan sehingga tidak akan sampai ke tempat tujuan. Apalagi kalau dalam perjalanan tersebut harus melewati ganasnya hutan belantara dan lautan padang pasir. Tidak hanya persiapan internal saja, antisipasi terhadap ancaman eksternal pun perlu diperhitungkan seperti banyaknya binatang buas, rimbunnya tumbuhan hutan, perubahan cuaca yang ekstrim, beratnya medan yang harus ditempuh dan berbagai macam gangguan lainnya. Tanpa persiapan yang matang, maka kegagalan sudah di depan mata, salah satunya adalah tersesat dan tidak mencapai tujuan.
Seperti halnya perjalanan sang musafir. Hidup di dunia juga penuh dengan onak duri, godaan, dan marabahaya yang dapat mengancam keselamatan hidup kita setiap saat. Diperlukan kesiapan internal maupun antisipasi terhadap pengaruh eksternal. Oleh karena itu, agar perjalanan di dunia ini selamat sampai tujuan, maka diperlukan peta. Al-Qur’an adalah peta atau pedoman hidup yang berperan sebagai petunjuk bagi umat islam dalam mengarungi bahtera hidup ini agar selamat, baik selama di dunia maupun di akhirat kelak. Tanpa Al-Qur’an, mustahil umat islam berhasil dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan kitab ini pula manusia akan tumbuh kesadarannya untuk mengenal siapa dirinya, memahami untuk apa diciptakan, mengetahui darimana ia berasal dan ke mana akan kembali ketika kematian datang menjemput.
            Namun sayangnya, banyak umat islam sendiri tidak merasa bangga dan mau memanfaatkan Al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman hidup. Secara lisan memang banyak yang telah mengaku beriman kepada kitabullah ini sebagai bentuk sempurnanya rukun iman, namun realita menunjukan lain, banyak perilaku umat islam itu sendiri yang melanggar isi kandungan Al-Qur’an. Jadi antara yang diucapkan dan diyakini berbeda dengan perilakunya.
Terkadang juga kebanggaan umat islam terhadap Al-Qur’an diletakkan tidak dalam proporsi yang selayaknya. Kitab ini hanya dijadikan hiasan di lemari-lemari kaca yang mewah maupun lusuh, disimpan dalam laci meja, bahkan hanya ditumpuk dengan buku-buku lain semata-mata hanya untuk menunjukkan identitas siapa sebenarnya jati dirinya. Al-Qur’an jarang dibuka, apalagi dibaca, diamalkan dan dipahami, sehingga kehidupannya jauh dari tuntunan Illahi. Bahkan ketika mendatangi suatu majelis taklim, kebanyakan umat islam tidak merasa bangga dengan membawa Al-Qur’an untuk menyimak apa yang didakwahkan oleh sang mubaligh. Hal ini berbeda jauh dengan saudara kita yang dengan bangga membawa kitab sucinya ketika setiap minggu mendatangi tempat ibadahnya.
            Apa yang sebenarnya menjadi penyebab sehingga umat islam tidak merasa bangga dengan kitabnya? Ada masalah apakah yang membuat kebanyakan umat islam jarang membaca dan mempelajari Al-Qur’an? Salah satunya alasan klise yang sering kita dengar mengapa umat islam enggan mempelajari Al-Qur’an karena berbahasa arab, maka kitab ini sulit untuk dibaca, dipelajari dan dipahami.  Kalau boleh dibilang, sebenarnya alasan ini hanya dibuat-buat untuk melindungi diri dari kemalasan.
            Mengapa umat islam begitu “alergi” dengan bahasa Arab? Bukankah Al-Qur’an petunjuk dan pedoman hidup bagi seluruh manusia tanpa membedakan darimana asal bangsa, negara dan bahasa. Apakah mempelajari dan memahami Al-Qur’an harus terlebih dahulu pandai membaca bahasa arab dan sebatas mengetahui seluruh seluk beluk tata bahasanya (ilmu tajwid, nahwu sharaf, balaghah dan lain sebagainya)? Kalau ini yang menjadi alasan, tentu tidak masuk logika akal sehat. Bukankah banyak orang-orang yang tinggal di Timur Tengah dan pandai bahasa Arab, namun dalam realita menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang justru tidak memahami dan mendapat petunjuk dari Allah SWT melalui Al-Qur’an sehingga tidak memeluk islam?  
            Kitabullah diturunkan dalam bahasa Arab, karena memang Rasulullah Muhammad SAW berasal dari Mekah (Timur Tengah). Tetapi hal ini bukannya dijadikan alasan bahwa umat islam yang tidak mampu berbahasa arab tidak akan mampu mempelajari, mencerna dan memahami isi ayat Al-Qur’an. Bahasa adalah masalah kebudayaan, dan di jaman modern sekarang ini seiring dengan kemajuan teknologi percetakan dan hadirnya para cerdik pandai (translater/pengalih bahasa), Al-Qur’an telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa sehingga mudah dibaca, dipelajari, dimengerti dan dipahami secara tekstual. Memang akan lebih sempurna bila umat islam mampu menguasai bahasa arab, namun demikian ini bukanlah satu-satunya jaminan (tolok ukur) untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an.
Orang yang pandai bahasa Arab mungkin mampu menguasai Al-Qur’an secara tersurat (tekstual), namun secara tersirat (kontekstual) belum tentu. Mengapa? Karena Al-Qur’an adalah bahasa qalam dan yang menjelaskan makna tersirat ayatnya (takwil) tentunya sang pemilik wahyu itu sendiri yaitu Allah SWT, bukan orang yang pandai bahasa Arab atau pemegang otoritas agama.
Tugas para pemimpin agama hanya sebatas menyampaikan isi kitab secara tersurat, dan memberikan metode membacanya melalui ilmu nahwu sharaf, tajwid, balaghah, dan lain-lain. Sementara itu, untuk memahami takwilnya (ayat tersirat), masing-masing umat islam harus belajar dan berguru sendiri kepada Allah SWT selaku pemilik wahyu, sebagaimana yang diperintahkan-Nya: “Barangsiapa lepas dari pengajaran-Ku, akan Aku jadikan setan sebagai pemimpinnya. Sesungguhnya mereka disesatkan setan dari agama tetapi mereka merasa mendapat petunjuk.” (QS.Az-Zukhruf 43:36-37).
Fenomena lain juga menunjukkan, terkadang umat islam lebih memilih cara instan dengan mendengar ceramah-ceramah agama, dan membaca buku islam. Tentu saja cara ini tidak salah, namun yang patut disayangkan mengapa umat islam tidak mau melakukan cek dan ricek apakah memang benar apa yang di dengar dan dibaca sesuai dengan isi kandungan Al-Qur’an, sehingga dapat menambah kadar keimanan kita. Inilah yang dinamakan mengaji. ...(Bersambung)

Untuk menambah wawasan beragama anda silahkan baca dan download E- Book Kedua saya yang berjudul : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH dan jangan lupa sebelumnya juga telah terbit E-Book Pertama saya : MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Silahkan pelajari cara dan ketentuannnya. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat.

Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang